Cattegory

Senin, 30 Mei 2011

ULASAN KARYA SASTRA

POTRET KEHIDUPAN BALI MELALUI KARYA IMAJINATIF
(Ulasan terhadap Kumpulan Cerpen Bungan Jepun Karya Putu Fajar Arcana)
Oleh: Bekti Yustiarti
Sastra merupakan suatu karya yang seni yang berupa ekspresi pikiran dan disampaikan melalui sarana yaitu bahasa. Sastra erat hubungannya dengan masyarakat, karena sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat. Dengan imajinasi pengarang yang kreatif menggambarkan pengalaman sederet kehidupan dengan berbagai permasalahannya dan disajikan dalam karya sastra. Karya sastra dapat menjadi sebuah cerminan kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Karya sastra berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan adanya sastra masyarakat dapat mengetahui berbagai macam kehidupan pada setiap zaman. Sebagai contoh, sastra angkatan 1920-an dapat dibaca oleh masyarakat masa kini. Dengan membaca karya tersebut masyarakat memperoleh gambaran mengenani kehidupan masyarakat pada masa itu selain dari peristiwa sejarah.
Kumpulan cerpen “Bunga Jepun” karya Fajar Futu Arcana pada tahun 2003 merupakan salah satu kumpulan cerpen yang mengangkat sisi kehidupan di Bali pada masa itu. Didukung dengan unsur intrinsik yang sangat erat dengan seluk beluk kehidupan di Bali. Cerpen-cerpen yang ditulisnya sesungguhnya menggabarkan masyarakat bali yang beragam. Dalam cerpen ”Rumah Makam” unsur intrinsik yang ditonjolkan yaitu bagian latar, khususnya latar sosial. Di mana kehidupan sosial yang meliputi adat masih dijunjung tinggi. Dalam cerpen ini masyarakat berembug untuk menentukan sanksi yang sesuai untuk keluarga Susila. Selain itu, warga juga merencanakan upacara pembersihan desa karena tindakan Susila dianggap kotor.
Putu Fajar Arcana adalah orang Bali. Sebagai sastrawan dia mengolah deretan fakta yang didramatisasi menjadi sebuah cerita. Kehidupan pribadi, sosial serta budaya digambarkan melalui cerpen yang ditulisnya. Dalam cerpen “Sulasih”, masalah poligami juga terjadi di Bali. Keinginan untuk menjadi pewaris kerajaan mengaharuskan Gung Aji menikahi empat wanita. Tetapi sayang, tak satupun istrinya memiliki anak laki-laki. Kehidupan pribadipun dikupasnya dalam cerpen “Kita Tak Pernah Bicara”. Dari cerpen tersebut memberi pesan kepada para pembaca agar dalam kehidupan rumah tangga diperlukan suatu komunikasi. Keterbukaan antara suami dan istri sangatlah penting.
Latar begitu nampak digambarkan secara jelas oleh Putu Fajar Arcana dalam cerpen “Bunga Jepun” dan “Para Penari”. Sebagai contoh, ”Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dank bun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari” .Dari kutipan tersebut pembaca menggambarkan secara jelas mengenai latar tempat, waktu, dan sosial.
Gaya bahasa yang indah ia tonjolkan dalam cerpen “Kabut Malam-malam”. Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa perbandingan, khususnya personifikasi. Personifikasi adalah majas yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Berikut ini majas personifikasi yang digunakan dalam cerpen “Kabut Malam-malam”:
a. Pintu-pintu rumah papan yang bisu baru saja terhenti ternganga.
b. Selimut-selimut lagi teronggok di sudut kamar.
c. Bagai bola api Ila berayun-ayun di dahan cemara.
d. Matahati tengah berkemas-kemas menjelang petang.
e. Cemara duri seperti berlari dalam guyuran kabut.
f. Siul cemara telah mempercepat datang malam.
g. Ila tiba-tiba merasa akrab dengan derai cemara dengan desah napas bukit, dengan rintikan gerimis, dengan lembah berkaabut, dengan tepi hutan di sekitar Kintamani ini.
h. Ia petik bintang-bintang lalu didekapnya dalam-dalam.
i. Gerai rambutnya yang sepinggang menidurkan cuaca malam.
j. Ya, ya, menikmati awan malam-malam, memetik kabut tipis lalu digulung menjadi pintalan-pintalan kapas, dan serpihan bintang memberinya cahaya.
Putu Fajar Arcana menceritakan kisah nyata saat bom Bali terjadi dalam cerpen “Tahun Baru Pertama di Kuta”. Ia terinspirasi dengan fakta yang disaksikannya. Deretan sejumlah fakta didranatisasikannya menjadi sebuah cerita. Bahkan didukung dengan jumlah data yang orang yang menjadi korban. Dengan bahasa yang lugas, pembaca seolah-olah ikut merasakan kejadian pada masa itu.
Sisi lain yang ditonjolkan oleh Putu Fajar Arcana adalah sudut pandang. Pencerita yang berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda pula, dan sudut pandang yang berbeda itu menghasilkan versi cerita yang berbeda (Sudjiman, 1988: 71). Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam “Napas Usang” adalah sudut pandang orang pertama. Bagaimana si pengarang berberan sebagai “aku” orang pertama yang bercerita dan menceritakan dirinya sendiri. Pengarang merupakan tokoh cerita yang berkisah tentang dirinya sendiri dan tokoh-tokoh lain. Pengarang berada di dalam cerita itu, ia mengacu kepada dirinya sendiri dengan kata “aku”.
Sebagai orang Bali, Putu juga menggabarkan sisi kehidupan yang lain. Orang berpandangan bahwa kehidupan di Bali merupakan kehidupan yang serba mewah. Bagaimana tidak dengan ditunjangnya pariwisata yang berkembang pesat memberi dampak bagi masyarakat Bali, khususnya dampak ekonomi. Perekonomian masyarakat semakin sejahtera karena banyaknya wisatawan yang bekunjung ke Bali, terlebih pada musim libur. Namun, di balik itu semua terdapat sisi kehidupan yang lain. Tidak semua orang Bali kaya. Hal itu, digambarkannya melalui cerpen “Odah” perempuan tua yang miskin, serta memiliki banyak anak yang hanya menyandarkan hidupnya pada kemurahan pohon kopi. Bahkan, kalau musin kemarau keluarga mereka harus makan jagung. Sementara Odah sendiri sering sakit dan tidak mampu untuk berobat.
Bebeda dengan cerpen “Odah” dalam cerpen “Tanah Merah” penulis menggambarkan bagaimana suatu latar itu dibangun dalam suatu hari. Dalam cerpen ini latar yang digunakan tetap menggunakan tiga latar yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat hanya digambarkan di satu tempat, yaitu di pemakaman dan dalam hari itu juga. Selain terlihat pada latar. Dalam cerpen ini juga terdapat beberapa pengulangan kalimat. Sebagai contoh, berikut ini pengulangan kalimat yang terjadi dalam cerpen “Tanah Merah”:
a. Wajahnya yang seperti menunduk hanya menyaksikan lambaian daun pisang didera gerimis (Paragraf 4).
b. Pohon pisang yang ditimpanya kian melambai, seperti memanggil (Paragraf 7).
c. …”Hei daun pisang yang melambai….(Paragraf 7).
d. Dalam terang cahaya, sekilas ia melihat daun pisang yang bergoyang-goyang seperti semula (Paragraf 12).
e. Ia tahu sedang dibawa ke sebuah sudut di mana tadi daun pisang melambai dan dahan berderak (Paragraf 17).
f. “…Tetapi kau tak acuhkan, bahkan meremehkannya seperti daun pisang dan dahan, “ kata orang asing (Paragraf 19).
g. Hanya selembar daun pisang yang melambai kau katakana tangan-tangan (Paragraf 20).
Dalam cerpen ini terdapat pengulangan frasa daun pisang dalam kalimat yang berbeda. Daun pisang diibaratkan sebagai sesuatu yang hidup dan dan bergerak seperti manusia. Daun pisang melambai. Kata melambai berarti menyatakan perpisahan jika itu diibaratkan sebuah tangan. Selain frasa daun pisang terdapat beberapa pengulangan yang lain, misalnya:
a. “Hei, orang yang berjongkok, sudahi upacara perpisahan ini….” (Paragraf 4).
b. Sudahi upacara yang memuakan itu (Paragraf 6).
c. “Orang yang bersimpuh, sudahilah upacara perpisahan ini…” (Paragraf 11).
Kalimat perintah untuk meminta menyudahi acara perpisahan diucapkan berulang-ulang dalam paragraf yang berbeda. Kalimat lain yang serupa dan diucapkan berulang-ulang juga terdapat pada contoh berikut:
a. Mulutnya kini telah jadi milik lubang-lubang menganga yang berserakan di sekitanya (Paragraf 2).
b. Lubang-lubang menganga itu telah mematahkan tanganmu dank au pun terpelanting (Paraggraf 7).
c. Ingatlah, bukanlah di tempat ini, di hadapan lubang-lubang menganga beberapa waktu lalu, kau memenggal leher seluruh keluargamu? (Paragraf 22).
d. Ia terperosok segera ditarik oleh lubang-lubang yang menganga (Paragraf 23).

Ulasan karya sastra ini telah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dalam lomba LMKS tingkat SMA 2010.

Cerpen tentang lingkungan

“Pengabdian untuk Desaku”
Oleh: Bekti Yustiarti
Saat sang surya hendak ke peraduannya, semburat lembayung yang berwarna jingga kemerah-merahan nampak begitu cantik sebelum berganti dengan warna hitam dan dihiasi bintang-bintang yang berkerlap-kerlip bertaburan di angkasa. Ditambah keindahan bulan sabit yang elok.
Kulihat sesosok laki-laki muda yang berjalan dari arah persimpangan jalan. Orang tak membawa apa-apa. Usianya sekita 18 tahun. Ia bertubuh kekar, seperti orang yang bekerja keras. Nampak dari urat-urat yang terlihat melingkar di lengannya. Kulitnya sawo matang namun terlihat bersih. Dia terus berjalan lalu masuk ke sebuah rumah, tak terliharlah pemuda itu.
Bunyi kukuruyuk si ayam membangunkanku dari tidur lelapku. Seumur hidup baru kurasakan tidur nyenyak seoerti ini. Udara dingin yang membuatku tak ingin beranjak dari tempat tidurku. Berbeda dengan di Jakarta, setiap bangun pagi saja sudah terasa gerah. Andaikan udara di Jakarta seperti ini pasti orang-orang sangat betah tinggal di ibu kota.
Namaku Sherly, aku masih duduk di bangku SMA dan tinggal di Jakarta. Karena liburan sekolah, aku berlibur di tempat nenek yang ada di Wonosobo. Dulu aku pernah kesini waktu masih SD, itupun hanya sebentar. Dan aku sekarang kembali kesini untuk menikmati desa yang indah dan sejuk ini.
Kubasuh mukaku, betapa dingin airnya sehingga akupun tak berani untuk mandi. Dinginya air terasa menusuk sampai tulang. Akupun berjalan-jalan supaya tak kedinginan. Di jalan, aku berpapasan dengan pemuda yang kulihat kemarin sore. Dia tersenyum sambil menganggukan kepala, akupun membalasnya. Tanpa sepatah kata, berlalulah dia. Kali ini membawa sebuah keranjang yang terbuat dari bambu. Kubertanya-tanya, mau kemanakah dia? Akupun melanjutkan perjalanan kembali. Aku terhenti sejenak, kenapa aku tidak mengikuti pemuda itu saja. Aku berbalik dan mengikuti pemuda itu dari belakang, cukup jauh jaraknya. Pemuda itu lalu berbelok ke jalan setapak dan di balik pepohonan yang rimbun ternyata terdapat hamparan kebun the yang hijau nan indah.
Kulihat pemuda itu, ternyata dia pergi memetik daun the yang segar dan keranjang yang dibawanya untuk tempat pucuk teh yang dipetiknya. Akupun sangat tertatik untuk ikut memetiknya. Kudekatilah pemuda itu.
“Hai…” Sapaku terhadap pemuda itu. Dia hanya tersenyum dan berkata.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya pemuda itu.
“Boleh nggak aku ikut membantu memetik daun teh?”
“Boleh, kamu baru tinggal di sini ya?”
“Iya, aku dari Jakarta sedang liburan di tempat nenek. Nama kamu siapa?”
“Pardi. Kamu?”
“Namaku Sherly. Wah udara di sini masih sejuk ya, kamu setiap pagi memetik teh?”
“Enggak, kebetulan ini libur sekolah juga jadi aku bisa membantu orang tua memetik teh.”
“Kamu sekolah di mana?”
“Aku jurusan di STM jurusan pertanian.”
“Oh…gitu. Oh ya, besok aku boleh ikut kesini nggak? Soalnya aku sekarang mau pulang dulu nanti dicari nenek tadi nggak pamit kesini.”
“Boleh, besok kamu ikut saja.”
“Ok, kutunggu ya, aku pulang dulu.”
Begitu cantiknya gadis itu, kulitnya putih, bersih menandakan dia tak pernah bermain lumpur dan terkena panas matahari seperti aku. Kulanjukan kembali memetik teh. Tak terasa keranjang sudah penuh berisi pucuk daun teh segar. Akupun pulang. Kulihat rumah nenek Sherly, pintunya tertutup. Di mana ya dia? Besok sajalah aku baru maen kesini.
Hari berikutnya Sherly dan Pardi pergi ke kebun teh. Mereka memetik the bersama. Mereka tampak terlihat akrab walaupun baru kenal. Setelah keranjang yang dibawanya sudah penuh berisi pucuk daun teh, mereka pulang bersama. Di perjalanan mereka bercakap-cakap.
“Selain memetik the kamu ngapain aja kalau liburan?”
“Kalau pagi aku memetik teh, kalau siang aku di rumah membuat tas dari plastic bekas yang sudah tak terpakai.”
“wah, kamu kreatif juga ya. Boleh nggak aku maen ke rumah kamu melihat membuat kerajinan?”
“Boleh, kamu datang saja!”
Sherly ikut ke rumah Pardi, dia sangat kagum melihat tas-tas cantik yang terbuat dari plastic bekas yang tidak terpakai.
“Dari mana kamu puny aide memanfaatkan barang bekas ini?”
“Awalnya aku sangat prihatin melihat plastic-plastik bekas yang dibuang di semabarang tempat. Padahal desa ini masih asri dan indah. Lalu aku berpikir agar plastic-plastik yang sulit terurai dan merusak lingkungan dapat dimanfaatkan dengan baik. Di sekolah aku mendapat keterampilan membuat tas dari plastic bekas. Setiap pagi sambil ke kebun teh atau pulang dari sekolah, aku memunguti plastic-plastik yang dibuang sembarangan. Kukumpulkan dan kucuci, lalu kujemur. Setelah bersih dan kering aku tinggal menjahitnya sesuai dengan bentuk tas yang bervariasi. Tas-tas yang sudah jadi biasanya kutitipkan di warung-warung, lumayanlah dapat menambah uang saku dan lingkunganpun menjadii bersih.
“Waaaah keren… ternyata kamu cinta lingkungan. Kamu nggak ingin liburan ke luar kota?”
“Ingin sih, tapi aku nggak punya saudara jadi ya nggak pernah ke luar kota. Pernah ke Jogja sekali itupun waktu masih SD.”
“Gimana kalau minggu depan ikut aku ke Jakarta? Kan liburan sekolah masih lama tu.”
“Aku tanyakan orang tuaku dulu ya, nanti kalau setuju baru aku ikut kamu.”
“Ok.”
Setelah berunding dengan orang tuanya, Pardi diperbolehkan ikut berlibur ke Jakarta untuk menambah pengalaman sekalian. Pardi ikut naik mobil Sherly ke Jakarta. Orang tua sherly tidak ikut ke wonosobo jadi hanya diantar sopirnya. Sepanjang perjalanan Pardi tak berhenti bertanya kepada Sherly, sampai-sampai Sherly kewalahan menjawab pertanyaan Pardi. Namun, lama kelamaan karena lelah berjam-jam di perjalanan merekapun akhirnya tertidur lelap dan bangun kembali ketika sudah sampai di rumah.
“Non..Non…Non Sherly sudah sampai.” Pak sopir membangunkan Sherly.
“Sampai mana pak?” sambil mengucek-ucek mata.
“Sampai rumah Non.”
“Oh ya?”
Sherly segera membangunkan Pardi, mereka turun menuju ke rumah. Keluarga Sherly sudah menyambut kedatangan Sherly dan Pardi. Pardi sangat senang, karena disambut hangat oleh keluarga Sherly. Maklumlah sejak kecil orang tua Sherly bersahabat baik dengan orang tua Pardi, mereka berpisah ketika mendapat pekerjaan di Jakarta. Namun, komunikasi di antara mereka tetap baik sampai sekarang. Pagi harinya, keluarga Sherly mengajak Pardi jalan-jalan ke Monas dan kebun binatang Ragunan. Selama satu minggu Pardi berada di Jakarta dan mengunungi beberapa tempat. Tibalah waktunya Pardi untuk kembali ke kampong halamannya. Pardi diantar sampai agen bus, dan puang sendiri.
Sesampainya di desa tercinta Pardi tak henti-hentinya menceritakan pengalaman selama di Jakarta ke orangtuanya. Hingga muncul ide membuat miniatur pulau Indonesia di kolamnya yang berada di tengah sawah seperti yang ada di Taman Mini Indonesia Indah.
Suatu hari ide itu akhirnya terealisasi berkat persetujuan dari orang tuanya. Kini di tengah kolam yang luas yang berada di tengah sawah sudah berbentuk pulau Indonesia. Di pulau-pulau kecil ditanami berbagai macam bunga yang berwarna-warni sehingga nampak indah. Dan di kolamnya terdapat banyak ikan yang sengaja dibudidayakan oleh Pardi dan keluarganya.
(Lima tahun kemudian)
Pardi sudah selesai dari bangku sekolahnya. Kini dia menekuni wira usaha di desanya. Perikanan, pertanian, perkebunan, kerajinan membuat tas dari barang bekas sudah berkembang. Bahkan desanya kini telah menjadi desa wisata. Banyak wisatawan asing yang sering live in di desanya. Selain berekreasi di kebun teh, menanam padi dan sayur-sayuran, juga dapat memancing di pulau-pulau kecil. Dan oleh-oleh yang di bawa pulang oleh wisatawan biasanya meborong tas plastik.
Suatu saat Sherly berkunjung ke rumah neneknya, dia kini sudah menyelesaikan kuliahnya dan bekerja di stasiun televise. Dia tak menyangka bahwa Pardi telah berhasil mengembangkan desanya berkat keuletannya. Sherlypun tak menyangka ketika melihat minatur pulau Indonesia di tengah sawah yang hijau itu.
Pardi sudah memiliki puluhan pegawai untuk memproduksi tas platik. Karena selain dipasarkan sendiri tas plastik yang terbuat dari barang bekas biasanya dipesan dari berbagai kota untuk souvenir. Bagi yang tertarik di bidang perikanan, Pardi memberi kesempatan tetangganya untuk mengembangkan budidaya ikan air tawar. Itulah Pardi, pemuda desa yang sangat kreatif. Kini di desanya tidak ada lagi orang yang menganggur. Kesejahteraan wargnyapun kini terjamin. Semenjak Pardi berhasil mengembangkan berbagai macam usahanya, warga di desanya sudah tak lagi pergi merantau. Mereka lebih memilih bekerja di desanya karena biaya hidup yang murah dan dekat dengan keluarga.
*Selesai*
Cerpen ini telah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dalam lomba LMCP tingkat guru SMA tahun 2010

Cerpen: Tentang Budaya Indonesia

Manihing Tersenyum
Oleh: Bekti Yustiarti
Ketika sang senja mulai beranjak ke peraduannya, semilir sang bayu mulai membelai tubuhku. Dingin yang kurasakan, namun mataku tidak tetap memandang indahnya sang surya yang hampir tenggelam di pantai berpasir putih. Setelah menghilang, aku mulai beranjak dan pergi meninggalkan pantai. Kurasakan butiran pasir yang lebut di telapak kakiku yang tanpa alas. Kutinggalkan jejak langkah kaki di pasir nan lembut hingga hilang tersapu ombak dan pasirpun rata kembali. Di rumah, kurebahkan badan di ranjang bambu beralaskan tikar yang sudah cukup tua, bahkan sudah mulai lapuk karena umur ranjang tersebut juga sudah sangat tua, melebihi umurku. Kututup mata, tertidur, terlelap, kudengar bunyi ayam berkokok yang membangunkanku dari mimpi yang indah.
Pagi-pagi buta aku bangun, pekerjaanku setiap pagi adalah pergi ke pasar membantu ibuku menjual sayuran di pasar. Sayuran yang kami jual adalah hasil dari kebun kami sendiri. Ayah yang menanam di ladang, apabila dagangan ibu di pasar sudah laku,terlebih maka iapun segera bergegas menyusul ayah ke ladang. Sedangkan aku melakukan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu. Menyapu, mencuci, dan memasak. Apabila masakan sudah matang, aku langsung mengantarnya ke ladang karena ayah dan ibu tidak pernah makan siang di rumah. Sesekali aku membantu pekerjaan di ladang apabila sedang panen atau ada pekerjaan yang harus cepat diselesaikan. Begitulah kegiatanku sehari-hari. Aku hanyalah seorang gadis yang tinggal di sebuah desa yang ada di Lampung. Kegiatanku sehari-hari hanya menenun di rumah karena itu memang sudah pekerjaan turun temurun yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Pendidikanku hanya sampai SMA karena selain perguruan tinggi yang cukup jauh, orang tuapun tak sanggup untuk membiayaiku ke perguruan tinggi. Apabila akan melanjutkan studi harus pergi ke kota atau ke luar pulau. Teman-teman sebayaku juga bernasib sama. Oleh karena itu, sampai sekarang aku masih tinggal di desa.
“Manihing...Manihing....Manihing.....” Kudengar suara ibu dari belakang rumah.
“Ada apa Mak, kenapa teriak-teriak?”
“Abakmu Manihing, Abakmu.”
“ Abak kenapa Mak?”
“Abakmu terluka, ambilkan obat merah!”
“Ini Mak.”
Ibu langsung berlari ke ladang, aku segera menyusulnya. Ternyata kaki ayah terkena cangkul, sehingga terluka dan berdarah. Aku membantu membersihkan luka ayah dan kuberi obat merah lalu kubalut dengan kain bersih yang kubawa. Ibu membantu ayah berjalan pulang, sedangkan aku membawa peralatan makan dan alat-alat yang digunakan di ladang. Ayah beristirahat di kamar sampai tertidur pulas. Sementara ibu masih melanjutkan menenun bersamaku. Mataku mulai terkantuk-kantuk, kulirik jam dinding dan jarum pendek sudah menunjuk angka sebelas. Kulihat ibu, dia masih terlihat belum ngantuk. Kuhampiri dan kubawakan secangkir the panas, kental, manis. The kesukaan ibu, berbeda ayah, kalu ayah minum the pahit tanpa gula.
“Kalau kau ngantuk, tidur saja Manihing! Sudah larut malam, nanti Amak menyusul.”
“Baiklah, Bu.”
Kulangkahkan kaki menuju kamar, berbaring dan terlelap, sampai suara ayam berkokok membangunkanku. Seperti biasa, aku bangun mandi dan pergi ke pasar. Sepulang dari pasar ibu pergi ke ladang aku memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ayah masih sakit sehingga beliau tidak pergi ke ladang. Hari ini aku diajak teman-teman di desaku untuk berwisata ke Pantai Marina. Tapi aku tak berani bilang ke ayah, apalagi beliau masih sakit pasti membutuhkuan sesuatu, dan hanya aku yang ada di rumah. Pantai Marina adalah kawasan wisata pantai di Teluk Lampung di wilayah Lampung selatan. Pantai ini memiliki pemandangan yang indah dengan batu-batu karang yang bentuknya beraneka ragam. Sudah kubanyangkan aku akan menghabiskan hariku di sana bermain dengan teman-teman kampungku, berlarian di atas lebutnya butiran pasir putih.
Kulihat jam dinding sudah menunjuk angka 8, hari juga sudah mulai panas. Aku gelisah, karena teman-temanku sebentar lagi pasti menghampiriku.sepertinya ayah dari tadi memperhatikan kegelisahanku.
“Kenapa kau dari tadi mondar-mandir? Lirak-lirik jam?”
“Begina Bak, hari ini aku diajak teman-teman berwisata ke pantai.”
“Dengan anak-anak berndalan itu?”
“Mereka tidak berandalan Bak.”
“Mereka teman-teman Manihing, sebenarnya mereka baik Bak.”
“Sudahlah tinggal di rumah, kau tak tahu Abakmu sedang sakit, kau malah pergi.”
Sedih rasanya, bagaimana jika teman-teman nanti datang kesini, aku jawab apa? Apa aku pergi saja dan tak perlu bilang Abak. Kusiapkan semua keperluan Abak untuk sehari ini, lalu aku pergi diam-diam lewat pintu belakang. Kusiapkan makanan di meja makan, sehingga apabila ayah lapar tinggal mengambil saja. Kusiapkan juga air hangat di termos, apabila beliau ingin mandi tak perlu merebus air dulu. Dan kusiapkan beberapa obat serta perban di meja. Diam-diam aku pergi sebelum tema-teman datang ke rumahku.
Kutunggu mereka di ujung jalan. Mengapa mereka belum keihatan ya? Tak lama kemudian kudengar suara teman-temanku, mereka datang berlima.
“Manihing....!”
“Kaliman? Kamu ikut juga?”
“Pasti, karena mendengar kamu juga ikut, maka akupun semangat ikut.”
“Bisa aja kamu.”
Kami berenam pun berjalan menuju jalan raya, menunggu angkutan desa yang lewat, cukup lama kami menunggu maklum di desa sehingga angkutan juga jarang lewat sehingga kami harus sabar menunggu. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengobrol sambil bercanda. Angkutan yang kami tunggu pun lewat. Kurang lebih dua jam kami di angkot karena jalannya lambat, tak jarang pula di setiap persimapangan ngetem sambil menunggu penumpang. Dari jauh sudah terlihat hamparan air laut yang hijau, tampak rata dan sepertinya tak ada batas antara langit dengan laut. Indahnya, aku sudah tak sabar lagi untuk segera tiba di pantai. Terakhir aku pergi ke pantai ketika aku masih sekolah SMA kelas 1, berarti sudah empat tahun lalu.
“Pantai.....pantai.....”
“Serbu...”
Kamipun berlari menuju pantai. Semilir angin semakin menambah indahnya pantai. Ombak yang berkejar-kejaran tiada henti seolah menggambarkan kehidupan ini yang terus berjalan dan berlari. Betapa indahnya ciptaan-Mu. Sambil bermain air serta pasir yang putih sesekali kami berteriak dan berlari-larian saat ombak datang, dan menyapu rata istana buatanku dari pasir putih. Ketika aku membangun ulang istana pasir itu, tiba-tiba Kaliman datang menghampiriku.
“Bagus sekali istananya.Gambaran masa depan ya?”
“Eh...Kaliman, mengagetkan saja.
Kami berdua akhirnya duduk menatap laut hijau sambil berbincang. Setelah sekian lama kami ngobrol kesana-kemari, aku mersakan kenyamanan bercerita dengannya. Namun, mengapa hati ini mulai gelisah, perasaanku mulai campur aduk, entah apa yang aku rasakan? Apakah aku mulai jatuh cinta kepadanya? Nggak mungkin, ini hanya perasaannku saja karena aku jarang bercerita dengan orang lain, selain orang tuaku. Apalagi seorang cowok. Aku juga harus sadar dia anak ketua adat yang sekarang sedang menjalankan studi di kota, sementara aku hanya tamatan SMA, pasti Kaliman juga sudah punya pacar di kampus, teman-temannya pasti cantik-cantik. Kaliman juga orang yang pandai dan taat beragama, anyak gadis-gadis lain yang terpesona kepadanya.
Sorot matanya begitu tajam saat memadang mataku, jantungku semakin berdetak saat dia berada di dekatku. Apakah dia menatap ke semua orang dengan tatapan mata yang tajam? Atau hanya kepadaku saja? Ah... aku teralu besar kepala. Jika dia menatapku. Sampai kami meyaksikan matahari yang singgah ke peraduannya. Kami semua pulang untung masih ada angkutan terkahir walaupun sampai di rumah kami sudah malam.
“Dari kau Manihing?” Tanya Amak.
“Tadi Manihing bermain ke pantai dengan teman-teman.”
“Mengapa kau sampai malam? Dan kau tak minta ijin Abakmu tadi. Lain kali kau harus ijin kalau mau pergi. Sekarang kau mandi dan makan, sebelum kau diceramahi Abakmu.
Hari sudah malam, aku terasa lelah seharian bermain di pantai. Aku tidak membantu menenun. Sambil berbaring, terbayang wajah Kaliman waktu bersama-sama tadi, senyumnya yang manis, matanya yang tajam membuatkau terpesona padanya. Kutertelap sambil membayangkan wajah Kaliman. Tak terasa pagi yang indah telah menyambutku.rutinitas pagi kulakukan seperti biasa. Ayah sudah sembuh dan beliau sudah ppagi ke ladang sejak pagi buta.
Sore ini aku latihan menari di rumah ketua adat, aku baru sadar di sana pasti ada Kaliman, mudah-mudahan dia belum ke kota. Biasanya hari minggu sore dia ke kota karena hari senin ada kuliah dan kembali lagi biasanya hari jumat sore. Aku dan beberapa teman sudah datang ke rumah ketua adat, disana kami berlatih sendiri sambil menunggu sang pelatih datang. Sesekali aku melongok ke paintu, melihat apakah Kaliman masih ada atau sudah pergi. Namun, tak kulihat batang hidungnya sekalipun. Sepertinya kaliman memang sudah berangkat ke kota. Mengapa hati ini terasa kecewa saat aku tak bisa melihatnya.
Kekecewaanku sedikit terobati, ketika sang pelatih tari memperkenalkan tarian baru kepada kami. Betapa indahnya tarian itu. Taian baru yang diperkenalkan kepada kami adalah tari sembah. Sebelumnya aku pernah melihat tarian ini saat saudara sepupuku menikah. Tarian itu itu memang sangat indah dan menghibur. Tari sembah biasanya diadakan oleh masyarakat Lampung untuk menyambut dan memberikan penghormatan kepada kepada para tamu atau undangan yang datang. Tarian ini sering dinamakan sebagai tarian penyambutan.
Setelah pelatih selesai membawakan satu tarian sebagai contoh. Kami semua mulai baris sesuai posisi dan mulai berlatih menari. Walaupun agak susah, tapi sang pelatih tetap tekun mengajari kami satu persatu. Selain untuk melestarikan budaya di daerah kami, tarian ini juga dapat digunakan sewaktu-waktu apabila ada pernikahan atau saat menyambut para tamu. Seperti pejabat-pejabat.
“Gimana latihan tarinya?” Tanya Abak
“Aku dilatih tari sembah, Bak. Tarian baru, tapi cukup sulit.”
“Asal kau mau berlatih pasti bisa Manihing, daripada kau keluyuran nggak jelas lebih baik kau ikut berlatih tari seperti itu kan bermanfaat.”
“Iya Bak. Aku mandi dulu Bak.”
Setiap minggu sore kami berlatih tari. Sudah beberapa tarian yang dapat kami tampilkan. Tari sembah pun sudah mahir kami pergakan dan pernah kami pertunjukkan saat ada pernikahan di kampung kami. Sanggar kamipun mulai dikenal di kampung-kampung lain, sehinggga kami sering diundang untuk menari pada acara pernikahan atau penyambutan para pejabat.
Kegiatanku semakin bertambah, selain menenun dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sekarang aku sering diundang untuk mengisi acara dengan teman lain yang sesanggar. Suatu hari kami diundang di kampus tempat Kaliman kuliah. Ohh....betapa senangnya aku mendengar berita itu. Kami diminta mengisi acara wisuda. Aku berharap di sana bertemu dengan Kaliman. Ketika acara dimulai, muncullah seorang pembawa acara dari pintu samping. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat wajah pembawa acara itu adalah Kaliman.
Kurasakan jantungku semakin berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Apakah dia melihatku? Ya Tuhan...Dia tampak berwibawa sekali dengan mengenakan jas, maklumlah karena ini acara resmi. Setelah mendengar sambutan dari rektor, kami pun dipanggil oleh pembawa acara untuk tampil. Perasaan ini semakin tak menentu, selain baru pertama kali tampil dalam acara resmi seperti ini aku pun semakin salah tingkah ketika Kaliman melihatku menari. Aku hanya bisa berdoa agar taria yang kami bawakan berjalan lancar. Aku bersyukur doaku terkabul. Suara riuh dan tepuk tangan dari penonton merupakan kebanggaan tersendiri bagiku. Setelah acara selesai Kaliman mendekati dan menyalamiku.
“Selamat ya, tariannya bagus. Kamu juga cantik sekali hari ini.”
“Terima kasih, itu juga berkat ayah kamu yang berinisiatif mendirikan sanggar di kampung kita.”
“Kamu pulang bareng siapa?”
“Aku pulang dengan rombongan.”
“Sebenarnya aku ingin mengajak kamu pulang bareng. Apa kamu bawa ganti?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu biar aku bilang ke rombongan kalau kamu bareng aku.”
Segera aku berganti pakaian tari dengan kaos santai. Aku diboncengkan Kaliman dengan menggunakan motor vespa. Sepanjang jalan aku hanya diam. Aku tidak tau harus ngomong apa? Yang ada hanyalah perasaanku yang campur aduk tak karuan. Ini kan bukan jalan menuju kampung kami, akan membawaku kemanakah Kaliman? Aku hendak bertanya, tapi...akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
“Kita mau kemana?”
“Nanti kau lihat sendiri saja.”
Aku pun tak bertanya lagi, asyik juga ya melakukan perjalanan dengan motor. Tak lama kemudian kami pun sampai di pantai yang dulu kami kunjungi bersama. Setelah dia sandarkan motornya, kami duduk di bawah pohon beraskan tiikar kecil yang selalu dia bawa di motor.
“Sudah lama aku ingin mengajakmu kesini. Tapi baru kali ini aku diberi kesempatan untuk berdua denganmu. Kamu tau apa yang aku rasakan selama ini? Sudah lama aku memendam perasaan ini untukmu, sejak kita masih sama-sama duduk di bangku SMA. Tapi baru aku ungkapan sekarang, entah kamu memiliki perasaan yang sama atau tidak. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan selma ini. Manihing maukah kauu jadi kekasihku?”
“Sebenarnya, sudah lama aku juga memendam perasaan yang sama. Namun, apa daya aku tak banyak berharap. Karena aku takut sakit hati, takut kalau kamu juga tak mau mencintaiku.”
“Jadi kamu menerimaku jadi pacarmu?”
Aku hanya mengangguk, Kaliman memelukku erat. Pasir putih, angin, dan lautlah yang menjadi saksi cinta kita saat itu. Kami pulang bersama, Kaliman mengantarkanku sampai rumah. Betapa indahnya hidup ini. Sungguh aku sangat bahagia. Segala sesuatu yang aku impikan kini telah menjadi kenyataan. Semua terasa indah, sungguh indah.
Kebahagiaan itu tiba-tiba sirna ketika orang tuaku mengetahui bahwa aku berpacaran dengan Kaliman. Orang tuaku melarang kami berpacaran dengan alasan adat yang harus dijunjung tinggi. Aku kecewa, sangat kecewa ketika mendengar itu. Aku dan keluarga tinggal di Lampung Tengah, setiap tempat memiliki adat yang berbeda begitu juga dengan tempat tinggalku. Adat istiadat di Lampung Tengah adalah masyarakat adat pepadun. Upacara adat Lampung Tengah umumnya ditandai dengan adanya bentuk perkawinan “jujur” dengan menurut garis keturunan patrilineal yang ditandai dengan adanya pemberian uang kepada pihak mempelai wanita untuk menyiapkan “sesan” berupa alat-alat rumah tangga. Sesan tersebut akan diserahkan kepada pihak laki-laki pada saat upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan mempelai wanita kepada keluarga laki-laki. Dengan demikian secara hukum adat maka putus pula hubungan secara adat antara mempelai wanita dari keluarganya.
“Kenapa Abak melarangku berhubungan dengan Kaliman?”
“Karena kamu tak sederajat dengannya. Dia anak orang terpandang dan berpendidikan tinggi, sementara kamu hanya anak seorang petani dan hanya tamatan SMA.”
“Tapi, Bak. Cinta tidak mengenal derajat dan tingkat pendidikan?”
“Tapi abak tetap tidak merestui, mau ditaruh di mana muka Abak? Bagaimana pendapat orang, pasti semua orang akan meremehkan kita.”
“Aku mohon Bak, aku sangat mencintai Kaliman.”
“Dengan apa kita akan menyiapkan sesan? Menjual ladang? Lalu orang tuamu harus kerja di mana? Nganggur? Mengahrap belas kasihan dari besan?”
Aku menyadari bahwa keluargaku memang hanya pas-pasan secara materi. Pendapatan sehari-hari memang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Aku juga masih ingat ketika aku masih sekolah. Abak sering meminjam uang kepada tetangga untuk membayar SPP. Kemudian beliau baru membayar ketika panen. Sering itu dilakukan tak hanya untuk membayar SPP untuk kebutuhan yang lain juga. Aku sedih, tapi aku juga tak mau mengorbankan perasaanku.
Aku menemui Kaliman di sanggar karena itu hari sabtu, aku tau Kaliman pasti di rumah. Kudapati dia sedang membaca buku dan kumendekatinya. Kuceritakan semua yang kualami selama semiggu ini. Kaliman hanya terdiam mendengar ceritaku, aku menyerahkan semuanya ke Kaliman, apapun resikonya. Tappi kaliman juga ingin mempertahankan hubungan kita.
“Setelah aku lulus sarjana, aku akan bekerja. Dan hasil pendapatanku kita tabung, setelah terkumpul kita gunakan untuk menyiapkan sesan. Bagaimana pendapatmu?”
“Mungkin itu semua memang mudah kita rencanakan, tapi kita nggak tahu, bagaimana nantinya? Apakah orang tuamu setuju?”
“Aku nggak tau, kamu juga tau orang tuaku juga orang yang keras terhadap pendirian.”
“Benarkan? Mungkin semua yang kita rencanakan kini hanya kenangan saja.”
“Aku pulang saja Kaliman.”
“Kenapa?”
“Aku ingin menenangkan pikiran.”
Terlalu sakit menerima kenyataan ini. Sepertimya aku tak sanggup lagi setiap hari mendengar ceramahan abak dan amak. Aku ingin pergi. Sempat terpikir di benakku, seandainya aku pergi merantau ke luar kota dan aku melupakan Kaliman saja. Daripada aku menahan rindu terus menerus seperti ini namun aku selalu dilarang oleh orang tua. Namun, pikiran itu tiba-tiba kuurungkan ketika aku mengingat jasa kedua orang tuaku yang telah membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini.
Setahun kemudian, aku menjadi orang yang lebih berguna. Tak lagi memikirkan masalah pribadiku saja. Aku sudah bisa menari dengan baik dan dipercaya untuk melatih tari di daerahku. Beberapa lomba sudah kuikuti, dan tak sedikit juga yang aku menangkan. Melalui budaya daerah inilah kebudayaan Indonesia menjadi semakin kaya. Aku tersenyum bangga.

Ujung Genteng

Hamparan pasir putih begitu luas
Lihat di sana!
Anak kecil berlari mengejar umang
Dengan cepat, menyelinap ke dalam pasir
Dia pun mencarinya
Ia gali sampai dalam
Tak ditemukannya
Iapun menangis
Ibunya menghampiri dan membawakan umang itu
Tersenyumlah dia
Sungguh indah
Sukabumi, Desember 2009