Dunia sastra tidak akan pernah mati, sastra akan tetap hidup dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Pada harian Kompas Minggu (11/4) dimuat artikel yang berjudul “Mengunyah Fiksi Mini Sepanjang Hari”. Fiksi mini merupakan istilah baru di dunia sastra. Apabila digolongkan dalam ranah sastra, fiksi mini dapat dimasukkan dalam karya prosa. Mengapa demikian? Fiksi mini hampir mirip dengan cerpen, hanya cerita yang dituangkan dalam fiksi mini lebih singkat. Fiksi mini yang dimaksud adalah sebuah cerita yang mengandung unsur intrinsik dan dibatasi 140 karakter. Walaupun cukup “mini” fiksi mini merupakan sarana untuk berkarya bagi seseorang.
Berikut contoh fiksi mini:
aku sungguh mencintaimu sayang,”kata sang suami didpn makam istrinya. “Juga uang hasil korupsiku yg kusimpan bersama petimatimu” #fiksimini
“Katakan pdku,sejak kapan kau mencintaiku?”tanya sang pemuda pd sigadis.”Sejak kamu kena amnesia,sayang”sahut si gadis tersenyum #fiksimini
“Sst..istri si bos itu bekas pacarku dulu lho,”kata lelaki itu pd kawannya.”Sama dong! istrimu jg bekas pacarku,”jwb kawannya #fiksimini
“Kamu cantik, tapi aku tak mencintaimu,”kata si pemuda dgn perih.”Kenapa?”tanya sigadis.”Karena kelamin kita beda”sahut si pemuda #fiksimini
Sumber:
Kompas, 11 April 2010
http//:fiksi.kompasiana.com
Rabu, 18 Agustus 2010
Jumat, 13 Agustus 2010
Penolong Kakek
Oleh Bekti Yustiarti
Tibalah hari jumat yang sudah kutunggu-tunggu. Karena seminggu lalu ayah telah berjanji mengajakku jalan-jalan ke luar kota naik kereta. Pagi-pagi aku langsung mandi, kemudian aku duduk di maja makan. Ayah dan ibu sudah menungguku untuk sarapan.
“Nah, begitu dong anak ayah bangun pagi langsung mandi.”
“Iya Yah, kan biar cepat-cepat soalnya nanti sore kan mau diajak jalan-jalan ke tempat Bude. Jadi kan Yah?”
“Jadi dong. Sekarang sarapan dulu, Soalnya Papa harus datang di kantor lebih awal karena ada tamu.”
“Oke Yah, asyik…asyik…
Setelah selesai sarapan akupun bergegas mengambil tas dan membonceng ayah. Setiap pagi aku selalu berangkat bersama ayah karena sekolahku dilewati oleh ayah. Semampai di sekolah aku masuk kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Pulangnya aku dijemput ibu karena ayah pulang dari kantor lebih sore. Aku langsung makan dan tidur siang, tak lupa aku berpesan kepada ibu agar membangunkanku lebih awal.
“Ibu, nanti jangan lupa aku dibangunkan ya!”
“Iya, sekarang kamu bobo dulu ya nak!”
“Iya Bu.”
Setelah dua jam, aku dingunkan oleh Ibu. Suapaya aku segera mandi dan bersiap-siap sambil menunggu ayah pulang. Ibu sudah berkemas-kemas menyiapakan perlengkapan yang harus dibawa. Ibu sedang memasak di dapur.
“Ibu, ayah belum pulang ya?”
“Belum, mungkin sebentar lagi. Kamu bantu ibu dulu ya, memasukkan baju-baju yang dibawa sudah ibu siapkan, yinggal masukkan k etas!”
Aku segersa bergegas ke kamar dan memasukkan baju-baju, kemudian kuhampiri ibu di dapur yang masih menyelesaikan masakannya.
“Bu, masaknya kok banyak sekali? Mau dibawa buat bekal ya?”
“Iya Din, daripada kita beli di stasiun kan mahal lagipula belum tentu bersih.”
“Oh gitu ya Bu. Ayah kok lama ya Bu?”
“ Ya sabar, ayah masih mampir ke stasiun untuk membeli tiket supaya kita dapat tempat duduk.”
Ibu bersiap-siap, aku melihat televisi sambil menunggu ayah pulang. Tak lama kemudian suara motor ayah terdengar. Aku segera berlari ke depan. Ternyata benar ayah sudah datang.
“Ayah….”
“Wah cantiknya anak Ayah, ibu mana?”
“Sedang siap-siap Yah.”
“Kamu tunggu dulu sambil nonton TV, ayah mandi dulu ya!
“Cepet ya Yah!”
Setelah semua siap kami segera pergi ke stasiun. Kami naik angkot di depan rumah menuju ke stasiun. 15 menit perjalanan dari rumah menuju ke stasiun. Kami tiba di stasiun satu jam lebih awal, kata ayah lebih baik kita berangkat awal daripada terlambat. Sambil menunggu kereta kami duduk di ruang tunggu. Belum terlalu banyak penumpang yang menunggu. Kulihat sekeliling stasiun. Terdapat banyak penjual makanan dan oleh-oleh. Kemudian aku milhat seorang kakek yang sedang duduk di sudut kursi.
Kakek itu sedang menghitung uang, kulihat uangnya ribuan. Nampak lama kakek itu menghitung kembali uangnya. Kuamati dari tempat aku duduk. Kemudian kakek itu bertanya kepada seseorang yang duduk di sampingnya. Sepertinya orang yang duduk di sampingnya tidak tahu lalu menunjuk ke arah satpam yang berjaga di pintu masuk. Kakek itu berjalan ke arah satpam yang berjaga di depan pintu. Mereka tampak berbincang bincang tapi sayang aku tidak mendengar percakapannya. Kemudian kakek itu kembali ke dudut kursi yang diduduki tadi, kembali iya menghitung uangnya. Kakek itu tampak gelisah. Akupun mendekatinya.
“Kakek kenapa?”
“Ini Dik. Saya itu mau ke stasiun A ternyata tadi saya diturunkan di staisun B. Padahal tiket saya di stasiun A.”
“Terus gimana Kek?”
“Saya bingung Dik, tidak tahu jalannya.”
“Naik taksi saja Kek!”
“Uang saya tidak cukup Dik.”
“Ohh..”
Aku berlari ke tempat ayah duduk dan menceritak semua kejadian. Lalu ayah, memberiku selembar uang duapuluhribuan supaya diberikan kepada kakek untuk naik taksi.
“Kek, ni uang dari ayahku, kakek pakai buat naik taksi ke stasiun A!”
“Terima kasih Dik, kamu baik sekali”
“Hati-hati ya Kek!”
Kuamati dari belakang, kakek itu sudah tua sekali, kasihan dia bepergian sendirian. Langkahnya sudah tak secepat aku, dia sudah tak bisa berlari. Setelah kakek itu menghilang dari pandanganku, aku kembali ke tempat duduk semula. Tak lama kemudian kereta yang akan kami naiki sudah datang. Kami segera naik dan mencari nomor kursi yang telah tertera di tiket. Setelah tempat duduk kami ketemu aku memilih duduk di dekat jendela.
“Kok melamun, tadi kan ceria.” Tanya Ibu.
“Dina sedih, Bu.”
“Kenapa?”
“Dina teringat kakek tadi, kasihan ya Bu.”
“Sudahlah nggak apa-apa, kakek itu pasti selamat, kamu sekarang berdoa saja ya, jangan lupa doakan kakek tadi.”
Aku memejamkan mata dan berdoa, setelah selesai berdoa aku sudah tidak gelisah lagi, aku menikmati perjalanan di kereta. Ayah dan Ibupun gembira melihat aku gembira kembali.
Selesai
Tibalah hari jumat yang sudah kutunggu-tunggu. Karena seminggu lalu ayah telah berjanji mengajakku jalan-jalan ke luar kota naik kereta. Pagi-pagi aku langsung mandi, kemudian aku duduk di maja makan. Ayah dan ibu sudah menungguku untuk sarapan.
“Nah, begitu dong anak ayah bangun pagi langsung mandi.”
“Iya Yah, kan biar cepat-cepat soalnya nanti sore kan mau diajak jalan-jalan ke tempat Bude. Jadi kan Yah?”
“Jadi dong. Sekarang sarapan dulu, Soalnya Papa harus datang di kantor lebih awal karena ada tamu.”
“Oke Yah, asyik…asyik…
Setelah selesai sarapan akupun bergegas mengambil tas dan membonceng ayah. Setiap pagi aku selalu berangkat bersama ayah karena sekolahku dilewati oleh ayah. Semampai di sekolah aku masuk kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Pulangnya aku dijemput ibu karena ayah pulang dari kantor lebih sore. Aku langsung makan dan tidur siang, tak lupa aku berpesan kepada ibu agar membangunkanku lebih awal.
“Ibu, nanti jangan lupa aku dibangunkan ya!”
“Iya, sekarang kamu bobo dulu ya nak!”
“Iya Bu.”
Setelah dua jam, aku dingunkan oleh Ibu. Suapaya aku segera mandi dan bersiap-siap sambil menunggu ayah pulang. Ibu sudah berkemas-kemas menyiapakan perlengkapan yang harus dibawa. Ibu sedang memasak di dapur.
“Ibu, ayah belum pulang ya?”
“Belum, mungkin sebentar lagi. Kamu bantu ibu dulu ya, memasukkan baju-baju yang dibawa sudah ibu siapkan, yinggal masukkan k etas!”
Aku segersa bergegas ke kamar dan memasukkan baju-baju, kemudian kuhampiri ibu di dapur yang masih menyelesaikan masakannya.
“Bu, masaknya kok banyak sekali? Mau dibawa buat bekal ya?”
“Iya Din, daripada kita beli di stasiun kan mahal lagipula belum tentu bersih.”
“Oh gitu ya Bu. Ayah kok lama ya Bu?”
“ Ya sabar, ayah masih mampir ke stasiun untuk membeli tiket supaya kita dapat tempat duduk.”
Ibu bersiap-siap, aku melihat televisi sambil menunggu ayah pulang. Tak lama kemudian suara motor ayah terdengar. Aku segera berlari ke depan. Ternyata benar ayah sudah datang.
“Ayah….”
“Wah cantiknya anak Ayah, ibu mana?”
“Sedang siap-siap Yah.”
“Kamu tunggu dulu sambil nonton TV, ayah mandi dulu ya!
“Cepet ya Yah!”
Setelah semua siap kami segera pergi ke stasiun. Kami naik angkot di depan rumah menuju ke stasiun. 15 menit perjalanan dari rumah menuju ke stasiun. Kami tiba di stasiun satu jam lebih awal, kata ayah lebih baik kita berangkat awal daripada terlambat. Sambil menunggu kereta kami duduk di ruang tunggu. Belum terlalu banyak penumpang yang menunggu. Kulihat sekeliling stasiun. Terdapat banyak penjual makanan dan oleh-oleh. Kemudian aku milhat seorang kakek yang sedang duduk di sudut kursi.
Kakek itu sedang menghitung uang, kulihat uangnya ribuan. Nampak lama kakek itu menghitung kembali uangnya. Kuamati dari tempat aku duduk. Kemudian kakek itu bertanya kepada seseorang yang duduk di sampingnya. Sepertinya orang yang duduk di sampingnya tidak tahu lalu menunjuk ke arah satpam yang berjaga di pintu masuk. Kakek itu berjalan ke arah satpam yang berjaga di depan pintu. Mereka tampak berbincang bincang tapi sayang aku tidak mendengar percakapannya. Kemudian kakek itu kembali ke dudut kursi yang diduduki tadi, kembali iya menghitung uangnya. Kakek itu tampak gelisah. Akupun mendekatinya.
“Kakek kenapa?”
“Ini Dik. Saya itu mau ke stasiun A ternyata tadi saya diturunkan di staisun B. Padahal tiket saya di stasiun A.”
“Terus gimana Kek?”
“Saya bingung Dik, tidak tahu jalannya.”
“Naik taksi saja Kek!”
“Uang saya tidak cukup Dik.”
“Ohh..”
Aku berlari ke tempat ayah duduk dan menceritak semua kejadian. Lalu ayah, memberiku selembar uang duapuluhribuan supaya diberikan kepada kakek untuk naik taksi.
“Kek, ni uang dari ayahku, kakek pakai buat naik taksi ke stasiun A!”
“Terima kasih Dik, kamu baik sekali”
“Hati-hati ya Kek!”
Kuamati dari belakang, kakek itu sudah tua sekali, kasihan dia bepergian sendirian. Langkahnya sudah tak secepat aku, dia sudah tak bisa berlari. Setelah kakek itu menghilang dari pandanganku, aku kembali ke tempat duduk semula. Tak lama kemudian kereta yang akan kami naiki sudah datang. Kami segera naik dan mencari nomor kursi yang telah tertera di tiket. Setelah tempat duduk kami ketemu aku memilih duduk di dekat jendela.
“Kok melamun, tadi kan ceria.” Tanya Ibu.
“Dina sedih, Bu.”
“Kenapa?”
“Dina teringat kakek tadi, kasihan ya Bu.”
“Sudahlah nggak apa-apa, kakek itu pasti selamat, kamu sekarang berdoa saja ya, jangan lupa doakan kakek tadi.”
Aku memejamkan mata dan berdoa, setelah selesai berdoa aku sudah tidak gelisah lagi, aku menikmati perjalanan di kereta. Ayah dan Ibupun gembira melihat aku gembira kembali.
Selesai
Langganan:
Postingan (Atom)