Cattegory

Minggu, 15 Maret 2020

Balutan Kenangan Manis Pelayanan

Oleh Bekti Yustiarti

Kenangan manis masa kecil menjadi bagian dari sepanjang peziarahan dalam hidupku. Puluhan tahun silam, ketika masih kanak-kanak aku tinggal di desa. Desa yang membuat iri bagi siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Terletak di lembah yang dikelilingi beberapa gunung dan perbukitan yang menambah keindahan alam. Tidak jauh di selatan, terbentang barisan Pegunungan Seribu yang sering disebut Gunung Kidul. Di utara menjulang Gunung Merapi dan Merbabu. Nun jauh di timur, tampak Gunung Lawu dan Perbukitan Bayat. Kalau orang memandang ke barat, terlihatlah Perbukitan Prambanan. Di tempat inilah aku menghabiskan masa kecil tanpa alas kaki.
Di sebelah barat rumah ada sungai yang cukup besar. Di seberang sungai sana sering digunakan untuk terminal lori tebu. Di musim panen tebu, kereta api tebu peninggalan Belanda (biasa kita sebut “montit”) setiap pagi selalu membawa sekitar 70-an lori di seberang sungai. Lori-lori yang diparkir di terminal lalu diangkut oleh pasangan sapi benggala (sapi besar dari India) ke sawah-sawah tebu di pinggiran Perbukitan Seribu (Gunung Kidul). Siangnya lori-lori yang sudah dipenuhi tebu itu dibawa kembali ke terminal seberang sungai. Biasanya anak-anak maupun remaja, kadang-kadang orang tua, suka mencuri tebu dari lori-lori itu. Suatu keasyikan tersendiri bagi orang muda desa. Tetapi mereka itu sangat takut sama mandor tebu, sebab apabila tertangkap bisa dibawa ke Gondang (tempat pabrik tebu) dan ditahan beberapa hari.
Setiap pagi selalu kunikmati semilirnya bayu yang sayup-sayup berdesir menyisir dedaunan dan hamparan sawah yang luas,  bak meniup permadani berwarna hijau. Kunikmati juga gemercik sungai yang membentuk alunan irama nan merdu. Di waktu pagi warga di desaku bisa menikmati terbitnya bola matahari berwarna jingga di ufuk timur yang muncul di punggung Gunung Lawu. Di sore hari, kami juga bisa menyaksikan mentari pelan-pelan menuju ke barat hendak menenggelamkan diri ke perbukitan Prambanan.

            Namaku Dihar, aku senang tinggal di desa. Bermain adalah kegiatan rutin yang kulakukan sepulang sekolah. Hobiku memanjat pohon sawo besar yang terletak di depa rumah, yang umurnya hampir 100 tahun. Aku membuat rumah pohon yang dibentuk dari kayu dan dahan. Rumah pohon kubuat senyaman mungkin. Di rumah pohon itu  aku biasa membaca-baca dan belajar. Di bawah rindangnya pohon sawo itu aku tidur siang denga AC alami dengan semilirnya hembusan angin semakin meninabobokan. Di kala musim berbuah, sawo-sawo matang bisa langsung kunikmati dari rumah pohon. Menyenangkan sekali.
            Menjelang sore aku bermain di tanggul pinggir sungai. Kunikmati jernihnya aliran sungai yang membasahi jari kakiku. Tiba-tiba aku dikagetkan seseorang dari belakang. “Dihar, ayo bal-balan nang lapanagan!”
“Wes akeh kancane to?”
“Wes pirang-pirang. Gari ngenteni kowe.”
“Yowes, ayo.”
Aku dan temanku segera menuju lapangan sepak bola. Di lapangan itu biasa kami bersama-sama bermain sepak bola. Bahkan tak hanya sepak bola, kami juga bermain layang-layang di sana. Para penggembala kerbau juga berbaur dengan kami. Kadang-kadang aku suka naik di atas punggung kerbau sambil membaca buku.
Saat beberapa hari tidak ada hujan. Air sungai sedikit berkurang. Aku mengajak teman-teman berenang di sungai yang biasa kami berenang bersama. Aku berlari duluan, teman-teman mengikutiku. Setiba di tepi sungai, aku mencopot pakaian kemudian terjun dari tanggul ke sungai. Aku kaget,  ternyata sungainya tidak dalam, hanya sebatas pinggang saja. Wah, kalau teman-teman tahu bahwa sungainya tidak dalam, teman-teman pasti tidak jadi mandi. Akupun tak kehilangan akal, aku pura-pura berenang, seakan-akan sungainya dalam.
 “Dalam tidak airnya?” tanya salah satu temanku.
“Kucoba dulu.” Jawabku.
Aku pura-pura menyelam, sambil tangan kanan kuangkat ke atas, sehingga hanya sedikit jari  yang tampak. Mereka mengira air sungai masih dalam. Lalu mereka bertiga berbarengan terjun ke sungai. Ternyata kedalamannya hanya setinggi pinggang. Mereka merasa tertipu dan memaki-maki. Aku tertawa girang karena berhasil menipu mereka. Akhirnya teman-teman pun ikut tertawa terbahak-bahak.
Saat musim kemarau, sungai-sungai biasa kekurangan air. Kami suka mencari ikan. Biasanya kami membendung sungai lalu menguras airnya. Setelah air terkuras ikan-ikan mudah ditangkapi. Selain ikan, kami juga suka mencari belut, baik siang maupun malam. Malam hari kami suka ngobor atau “nyuluh”.  Dengan lampu petromaks belut-belut di sawah itu tampak bermunculan di malam hari. Tinggal dipukul dengan golok lalu dimasukkan ke ember. Tidak sampai 1 jam sudah puluhan belut bisa dibawa pulang lalu digoreng untuk santapan malam.
Keisenganku dan teman-teman tak berhenti sampai di situ. Di pagi hari kami biasa mengikuti di belakang orang yang sedang “ngluku” untuk menggemburkan sawah. Ketika tanah sawah dibalikkan oleh ketajaman luku itu belut-belut keluar dari persembunyiaannya. Kami menangkap belut. Yang ahli menangkap mendapatkan banyak belut.
Beberapa sawah di daerahku sebagian wajib disewakan untuk ditanami tebu. Ketika tebu sudah tinggi dan masa mendekati panen, banyak anak-anak dan pemuda mencuri tebu. Suatu hari kakakku dan beberapa teman berencana mau mencuri tebu. Aku mau ikut, tetapi dimarahi kakak.
“Anak kecil tidak boleh ikut!” serunya. Lalu mereka bergegas ke ladang tebu dengan membawa sabit. Karena aku tidak boleh ikut, aku punya rencana lain. Kuputar otak bagaimana caranya bisa mencari tebu. Akhirnya aku sendirian pergi ke kebun tebu ke mana kakak dan teman-temannya pergi. Aku masuk ke kebun. Tak jauh dari situ terdengar suara orang memotong batang tebu. Kudekati arah suara itu. Ternyata mereka adalah kakak dan teman-teman. Kemudian aku ambil jalan memutar dari arah yang berlawanan dengan mereka. Aku amati mereka sampai mengupas tebu. Lalu berteriak ke arah mereka dengan suara yang kuperbesar seperti suara orang dewasa.
“Hai, siapa itu yang mencuri tebu?” Mereka kaget dan  lari pontang-panting. Aku semakin bersemangat meneriaki mereka.
“Hai, jangan lari!” Mereka semakin tunggang langgang menjauh. Aku menuju ke tempat mereka tadi memotong dan mengupas tebu. Aku temukan beberapa potong tebu yang sudah dikupas. Aku bawa pulang  4 potong tebu dengan gembira. Sampai di rumah, Kakak dan teman-teman heran melihat kedua tanganku menenteng 4 potong tebu sambil tersenyum-senyum.
“Dapat tebu dari mana kamu?” tanya kakakku.
 “Aku mendapati tebu-tebu ini tergeletak di tengah kebun.”
Lalu Kakakku setengah marah bertanya “Jadi kamu yang meneriaki kami tadi?”
“Habisnya aku mau ikut saja tidak boleh!” jawabku membela diri.
Saat malam bulan purnama orang-orang desa baik ibu-ibu, bapak-bapak maupun anak-anak keluar rumah untuk menikmati indahnya terang bulan. Mereka bertemu di sebuah pelataran luas. Anak-anak asyik bermain petak-umpet, jamuran, ular naga, cublak-cublak suweng, gobak-sodor, dll. Ibu-ibu menonton anak-anak yang sedang bermain sekaligus menjadi penggembira, sambil juga ikut menjadi wasit apabila terjadi perdebatan akibat kecurangan maupun salah-paham di antara kami. Bapak-bapak duduk-duduk sambil ngrokok dan ngomong-omong tentang sawah, acara desa maupun keadaan sekeliling.  Terang bulan di desa merupakan surga yang selalu dirindukan setiap bulannya.
Hari lain yang dinantikan adalah panen raya.  Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh warga. Pada musim panen raya, orang-orang desa bergembira. Sawah-sawah menguning di mana-mana. Hati para  petani berbunga-bunga. Para buruh tani dan para penuai sibuk membantu petani memanen di sawah. Ibu-ibu penuai berpindah-pindah dari sawah yang satu ke sawah yang lain secara berurutan. Orang-orang dari Gunung Kidul pun berdatangan ikut ambil bagian sebagai penuai maupun memanen jerami sebagai makanan ternak. Habis panen biasanya ada syukuran yang bernama bersih desa. Ada kendurinan bersama di setiap pedukuhan. Ada tanggapan wayang kulit sehari-semalam atau hanya semalam di Balai desa sebagai bentuk ucapan syukur.
Kenangan manis itu kini terbingkai dalam bentuk karya pelayanan bagi sesama yang tak akan pernah memudar. Tetap setia dalam pelayananku.

Cerpen ini telah dimuat dalam buku Mozaik Pengalaman Hidup (Hal. 172-175) tahun 2017, diterbitkan oleh SDU Press, Yogyakarta.