Cattegory

Rabu, 22 Juli 2020

Belis, Wujud Cinta Bersyarat di Manggarai


Oleh: Bekti Yustiarti
“Sebenarnya budaya belis itu bagus,” kata pamanku, Om Eben, sepupu ayah yang bertugas di kantor pencatatan sipil. “Itu menandakan bagaimana tingginya harkat dan martabat seorang perempuan Rote”  (Poyk, 2016). Penggalan cerpen karya Fanny Jonathans Poyk yang berjudul “Belis Si Mas Kawin” adalah gambaran nyata mengenai belis yang masih dipertahankan di Manggarai. “Meski zaman sudah modern, di mana era informasi teknologi merasuk dengan cepat ke otak para generasi muda dan dunia maya menjadi alat komunikasi canggih yang super cepat, belis tak lekang oleh segala gempita teknologi yang merajai dunia itu”, (Poyk, 2016). 
Belis atau mahar memang tidak akan pernah lekang oleh waktu, hal itu sudah menjadi sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat. Istilah belis tidak dapat dipisahkan dengan perkawinan di Manggarai. Belis merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita. Salah satu daerah yang menggunakan belis sebagai syarat perkawinan adalah Manggarai, Pulau Flores.
Apabila kita pernah mendengar  lagu dengan judul “Cinta Tanpa Syarat”, maka lirik lagu tersebut tidak berlaku di Manggarai. Cinta di tanah Flores memang bersyarat yaitu dengan belis. Belis atau mahar yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki memang tidak murah, bisa mencapai ratusan juta. Modal cinta saja tidak cukup untuk mengantarkan hubungan dua insan menuju pelaminan. Bahkan hubungan cinta bisa kandas di tengah jalan atau juga “cintaku kandas di rerumputan,” kata Ebiet G. Ade karena terganjal belis.
Belis adalah mas kawin (di Sumba): besar kecilnya pembayaran-biasanya bergantung pada tawar menawar (KBBI daring, 2020). Istilah belis tidak terbatas di Sumba saja, tetapi digunakan di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur. Pada zaman dahulu belis diberikan dalam bentuk kain, hewan: kerbau, kuda. Seiring berjalannya waktu belis dibayarkan dalam bentuk uang. Jumlahnya uang yang dibayarkan oleh anak wina (sebutan untuk keluarga dari pihak laki-laki) kepada anak rona (sebutan untuk keluarga dari pihak perempuan) telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam sistem perkawinan orang Nusa Tenggara Timur umumnya menganut sistem genealogis patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah) dan disempurnakan oleh ritual berupa belis (material) yang wajib dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki berdasarkan kesepakatan kedua keluarga mempelai (https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1390261013-2-BAB%20I.pdf diakses 1 Juni 2020)

Upacara Masuk Minta dan Belis
Sebelum melangkah ke pelaminan terdapat upacara masuk minta atau acara lamaran. Masuk minta merupakan kegiatan lamaran pada umumnya, yaitu pihak keluarga laki-laki mendatangi keluarga perempuan. Keluarga pihak laki-laki beserta tongka (juru bicara dari pihak laki) mendatangi rumah keluarga perempuan. Begitu juga dengan keluarga perempuan, berkumpul dan menyambut keluarga pihak laki-laki berdasarkan tata cara adat. Biasanya menggunakan ayam jantan berwarna putih (manuk lalong bakok) sebagai simbol ucapan syukur kepada Tuhan.
Tempat penyambutan keluarga laki-laki disiapkan sedemikian rupa oleh pihak perempuan. Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Manggarai biasa menggunakan tikar tradisional yang terbuat dari pandan dengan warna dominan ungu. Para tamu dan pihak yang dikunjungi berkumpul dengan duduk bersila.
Kegiatan yang dilakukan saat masuk minta yaitu melamar pihak perempuan yang diwakili tongka dari pihak laki-laki. Apabila lamaran diterima, maka proses selanjutnya adalah tukar cincin. Proses ini adalah peminangan tahap awal.
Tahap lain yang tak kalah penting dalam acara masuk minta adalah membicarakan belis. Proses perundingan kedua belah pihak pun berlangsung. Besarnya belis yang yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki berdasarkan ketentuan dari pihak perempuan dan berdasarkan persetujuan akhir dari kedua belah pihak.

Perempuan sebagai Penentu Besarnya Belis
Pihak perempuan memiliki kuasa untuk menentukan besarnya belis. Keluarga pihak perempuanlah yang memutuskan berapa besarnya belis, bahkan anak perempuan yang hendak dipinang terkadang tidak tahu jumlah nominal yang disepakati keluaga. Si anak perempuan, cukup tahu saat urusan sudah selesai dan siap melangkah ke pelaminan. “Soalnya saya cuma tau udah selesai aja. Pihak suami saya yang setor.” Tutur Ibu muda asli Manggarai yang menikah pada tahun 2014.
Hal tersebut dilakukan karena pihak perempuan dianggap sebagai penerus kehidupan ini. Perempuan sebagai penerus keturunan yang generasi mendatang. Oleh karena itu, perempuan berhak menentukan besarnya belis.  Dengan belis yang diterima dari pihak laki-laki, maka perempuan mendapat penghargaan tertinggi.  Belis merupakan mahar pernikahan dalam budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur terkhusus masyarakat Manggarai; sebagai penghormatan pada perempuan (Nggoro, 2013 via Ngabur, 2016)
Seiring dengan berkebangnya zaman, penentuan besarnya belis oleh pihak perempuan juga berdasarkan “bibit, bebet, dan bobot”. Umumnya, besarnya belis juga tidak terlepas dari status sosial dan ekonomi dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Selain itu, besarnya belis juga dilihat dari si calon mempelai perempuan. Sebagai contoh, tingkat pendidikan perempuan juga dapat dijadikan patokan penentuan besarnya belis. Perempuan yang lulusan sekolah menengah misalnya dengan belis 50 juta, sedangkan lulusan sarjana tentunya dengan belis yang lebih tinggi, bisa sampai ratusan juta. Belis untuk perempuan Manggarai saat ini berkisar antara 50 – 500 juta rupiah bergantung pada pendidikan perempuan yang akan diperistri mempelai laki-laki (Jilung, 2013 via Ngabur, 2016)

Belis Melibatkan Keluarga
Ketika berbicara belis, bukan lagi menjadi persoalan individu, tetapi akan melibatkan keluarga besar. Bagul (1997 via Ngabur 2016) perkawinan dalam lingkup budaya terutama dalam budaya orang Manggarai menjelaskan dalam beberapa makna mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang  lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera. Subur dan berkembang, membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain atau kelompok lain. Menjadikan keluarga sebagai ruang transmisi nilai budaya dan moral. Menjadikan kebebasan manusia terlembaga dalam satu tatanan moral dan etika seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami.
Belis yang dipatok dengan nominal tinggi, sudah pasti melibatkan keluarga besar pihak laki-laki. Dalam hal ini, keluarga besar berkumpul untuk memecah masalah bersama. Hal yang dilakukan oleh warga Manggarai adalah berdiskusi dengan anggota keluaga, bahkan bisa melibatkan orang sekampung  untuk membicarakan belis. Seluruh anggota keluarga dan warga kampung “patungan” mengumpulkan uang (kumpul kope) dengan nominal yang telah disepakati yaitu tergantung bersarnya belis, semakin tinggi belis yang ditentukan keluarga perempuan, maka semakin tinggi pula nominal yang harus dikumpulkan dalam anggota keluarga laki-laki.
Tradisi tersebut masih berlangsung hingga kini. Selain meringankan beban dari keluarga laki-laki tradisi ini juga mempererat persaudaran antara keluarga serta warga masyarakat, karena semua menjadi satu keluarga. Tradisi tersebut berlangsung terus menerus bilamana anggota keluarga yang lain juga mengalami hal yang sama.
Tradisi saling membantu ini tidak terbatas pada belis saja tetapi, untuk acara-acara adat lainnya. Belis  menjadi perekat hubungan sosial  dalam kelompok masyarakat. Dengan belis, masyarakat bersatu. Belis mampu membalut gotong-royong, kekerabatan, dan kebersamaan dalam satu ikatan.

Belis dan Nilai Luhur
            Di balik mahalnya belis di tanah Flores terdapat nilai-nilai luhur yang terus melekat. Melalui belis, kaum perempuan mendapat penghargaan tertinggi. Melalui perempuan, di dalam rahimnyalah kehidupan ini mulai terbentuk. Sehingga sudah sepantasnya apabila mereka mendapat penghargaan tertinggi. Selain itu, juga sebagai wujud terima kasih kepada keluarga perempuan yang telah merawat dan membesarkan anak perempuannya dari kecil hingga dewasa, bahkan sampai mendapat pekerjaan yang mapan.
            Berikutnya, belis menjadi simbol tanggung jawab dari laki-laki sebagai kepala keluarga. Pengayom istri dan anak, memberikan nafkah untuk keluarga yang dibangunnya. Sebagai kepala keluarga, sudah selayaknya menjadi panutan dalam rumah tangga.
Terakhir, belis sebagai makna “pengikat’. Setelah keduanya resmi menjadi suami istri, diharapkan agar saling menjaga. Mengingat perjuangan panjang dalam proses mengumpulkan belis yang melibatkan banyak pihak tentunya tidak disia-siakan begitu saja. Pengikat dalam kehidupan baru dari dua insan agar tetap setia, menghindari perceraian dan juga poligami.

Penutup
Persoalan belis di Manggarai adalah persoalan bersama, bukan lagi milik individu. Warisan nenek moyang yang terus dilestarikan dan tak luntur digerus zaman. Sebagai kearifan lokal, tradisi belis terus dirawat meski perlahan-lahan menjelma menjadi prestise dan status sosial. Kembali mengutip bagian akhir dari cerpen Poyk (2016) “Budaya dan adat-istiadat yang memang seharusnya dipertahankan, di satu sisi ternyata memberatkan si pelaku cinta yang seharusnya sudah menikah.” Jadi, meskipun begitu peliknya masalah belis di Manggarai tetap memiliki kekuatan yang “mempererat” tali persaudaran.

Sumber:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/ diakses 27 Mei 2020

Ngabur, Yohanes Efremi. 2016. Makna Perkawinan Bagi Suami Pada Masyarakat Manggarai (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Poyk, Fanny Jonathans. 2016. “Belis Si Mas Kawin” dalam Tanah Air: Cerpen Pilihan Kompas 2016. Jakarta: Kompas.