Cattegory

Selasa, 22 November 2022

1.3.a.3 Mulai Dari Diri - Modul 1.3

 Salam guru penggerak,


Tugas Modul 1.3

Refleksi Mandiri 1



a. Lingkungan Sekolah (Gb.1)
    

b. Situasi Murid dan Peran Guru (Gb.2)
    













Refleksi Mandiri 2

a. Saya memimpikan murid-murid yang cerdas, tangguh, sehat, bahagia, dan santun.
b. Saya percaya bahwa murid adalah benih-benih yang telah disemai untuk dirawat dengan baik.
c. Di sekolah, saya mengutamakan karakter yang baik dan pembelajaran berpusat pada anak.
d. Murid di sekolah saya sadar betul bahwa kemandirian, kejujuran, kolaborasi, dan keaktifan terus dipupuk.
e. Saya dan guru lain di sekolah saya yakin menuntun peserta didik untuk mencapai kebahagian dengan kolaborasi.
f. Saya dan guru lain di sekolah saya paham bahwa setiap peserta didik memiliki talenta yang unik.

Refleksi Mandiri 3

Visi: 
Mewujudkan peserta didik yang bermutu, berkarakter, dan berbudaya yang berpihak pada murid sesuai profil pelajar pancasila.

Sumber referensi
Gb1: https://sman1dander.info/acara/belajar-di-sekolah/ diakses 22 November 2022
Gb 2: https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/guru-favorit-idola-murid-di-sekolah-lakukan-7-tips-ini diakses 22 November 2022

Terima kasih

Bekti Yustiarti (CGP Angkatan 7, Jakarta Barat)

Rabu, 22 Juli 2020

Belis, Wujud Cinta Bersyarat di Manggarai


Oleh: Bekti Yustiarti
“Sebenarnya budaya belis itu bagus,” kata pamanku, Om Eben, sepupu ayah yang bertugas di kantor pencatatan sipil. “Itu menandakan bagaimana tingginya harkat dan martabat seorang perempuan Rote”  (Poyk, 2016). Penggalan cerpen karya Fanny Jonathans Poyk yang berjudul “Belis Si Mas Kawin” adalah gambaran nyata mengenai belis yang masih dipertahankan di Manggarai. “Meski zaman sudah modern, di mana era informasi teknologi merasuk dengan cepat ke otak para generasi muda dan dunia maya menjadi alat komunikasi canggih yang super cepat, belis tak lekang oleh segala gempita teknologi yang merajai dunia itu”, (Poyk, 2016). 
Belis atau mahar memang tidak akan pernah lekang oleh waktu, hal itu sudah menjadi sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat. Istilah belis tidak dapat dipisahkan dengan perkawinan di Manggarai. Belis merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita. Salah satu daerah yang menggunakan belis sebagai syarat perkawinan adalah Manggarai, Pulau Flores.
Apabila kita pernah mendengar  lagu dengan judul “Cinta Tanpa Syarat”, maka lirik lagu tersebut tidak berlaku di Manggarai. Cinta di tanah Flores memang bersyarat yaitu dengan belis. Belis atau mahar yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki memang tidak murah, bisa mencapai ratusan juta. Modal cinta saja tidak cukup untuk mengantarkan hubungan dua insan menuju pelaminan. Bahkan hubungan cinta bisa kandas di tengah jalan atau juga “cintaku kandas di rerumputan,” kata Ebiet G. Ade karena terganjal belis.
Belis adalah mas kawin (di Sumba): besar kecilnya pembayaran-biasanya bergantung pada tawar menawar (KBBI daring, 2020). Istilah belis tidak terbatas di Sumba saja, tetapi digunakan di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur. Pada zaman dahulu belis diberikan dalam bentuk kain, hewan: kerbau, kuda. Seiring berjalannya waktu belis dibayarkan dalam bentuk uang. Jumlahnya uang yang dibayarkan oleh anak wina (sebutan untuk keluarga dari pihak laki-laki) kepada anak rona (sebutan untuk keluarga dari pihak perempuan) telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam sistem perkawinan orang Nusa Tenggara Timur umumnya menganut sistem genealogis patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah) dan disempurnakan oleh ritual berupa belis (material) yang wajib dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki berdasarkan kesepakatan kedua keluarga mempelai (https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1390261013-2-BAB%20I.pdf diakses 1 Juni 2020)

Upacara Masuk Minta dan Belis
Sebelum melangkah ke pelaminan terdapat upacara masuk minta atau acara lamaran. Masuk minta merupakan kegiatan lamaran pada umumnya, yaitu pihak keluarga laki-laki mendatangi keluarga perempuan. Keluarga pihak laki-laki beserta tongka (juru bicara dari pihak laki) mendatangi rumah keluarga perempuan. Begitu juga dengan keluarga perempuan, berkumpul dan menyambut keluarga pihak laki-laki berdasarkan tata cara adat. Biasanya menggunakan ayam jantan berwarna putih (manuk lalong bakok) sebagai simbol ucapan syukur kepada Tuhan.
Tempat penyambutan keluarga laki-laki disiapkan sedemikian rupa oleh pihak perempuan. Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Manggarai biasa menggunakan tikar tradisional yang terbuat dari pandan dengan warna dominan ungu. Para tamu dan pihak yang dikunjungi berkumpul dengan duduk bersila.
Kegiatan yang dilakukan saat masuk minta yaitu melamar pihak perempuan yang diwakili tongka dari pihak laki-laki. Apabila lamaran diterima, maka proses selanjutnya adalah tukar cincin. Proses ini adalah peminangan tahap awal.
Tahap lain yang tak kalah penting dalam acara masuk minta adalah membicarakan belis. Proses perundingan kedua belah pihak pun berlangsung. Besarnya belis yang yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki berdasarkan ketentuan dari pihak perempuan dan berdasarkan persetujuan akhir dari kedua belah pihak.

Perempuan sebagai Penentu Besarnya Belis
Pihak perempuan memiliki kuasa untuk menentukan besarnya belis. Keluarga pihak perempuanlah yang memutuskan berapa besarnya belis, bahkan anak perempuan yang hendak dipinang terkadang tidak tahu jumlah nominal yang disepakati keluaga. Si anak perempuan, cukup tahu saat urusan sudah selesai dan siap melangkah ke pelaminan. “Soalnya saya cuma tau udah selesai aja. Pihak suami saya yang setor.” Tutur Ibu muda asli Manggarai yang menikah pada tahun 2014.
Hal tersebut dilakukan karena pihak perempuan dianggap sebagai penerus kehidupan ini. Perempuan sebagai penerus keturunan yang generasi mendatang. Oleh karena itu, perempuan berhak menentukan besarnya belis.  Dengan belis yang diterima dari pihak laki-laki, maka perempuan mendapat penghargaan tertinggi.  Belis merupakan mahar pernikahan dalam budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur terkhusus masyarakat Manggarai; sebagai penghormatan pada perempuan (Nggoro, 2013 via Ngabur, 2016)
Seiring dengan berkebangnya zaman, penentuan besarnya belis oleh pihak perempuan juga berdasarkan “bibit, bebet, dan bobot”. Umumnya, besarnya belis juga tidak terlepas dari status sosial dan ekonomi dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Selain itu, besarnya belis juga dilihat dari si calon mempelai perempuan. Sebagai contoh, tingkat pendidikan perempuan juga dapat dijadikan patokan penentuan besarnya belis. Perempuan yang lulusan sekolah menengah misalnya dengan belis 50 juta, sedangkan lulusan sarjana tentunya dengan belis yang lebih tinggi, bisa sampai ratusan juta. Belis untuk perempuan Manggarai saat ini berkisar antara 50 – 500 juta rupiah bergantung pada pendidikan perempuan yang akan diperistri mempelai laki-laki (Jilung, 2013 via Ngabur, 2016)

Belis Melibatkan Keluarga
Ketika berbicara belis, bukan lagi menjadi persoalan individu, tetapi akan melibatkan keluarga besar. Bagul (1997 via Ngabur 2016) perkawinan dalam lingkup budaya terutama dalam budaya orang Manggarai menjelaskan dalam beberapa makna mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan yang  lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera. Subur dan berkembang, membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain atau kelompok lain. Menjadikan keluarga sebagai ruang transmisi nilai budaya dan moral. Menjadikan kebebasan manusia terlembaga dalam satu tatanan moral dan etika seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami.
Belis yang dipatok dengan nominal tinggi, sudah pasti melibatkan keluarga besar pihak laki-laki. Dalam hal ini, keluarga besar berkumpul untuk memecah masalah bersama. Hal yang dilakukan oleh warga Manggarai adalah berdiskusi dengan anggota keluaga, bahkan bisa melibatkan orang sekampung  untuk membicarakan belis. Seluruh anggota keluarga dan warga kampung “patungan” mengumpulkan uang (kumpul kope) dengan nominal yang telah disepakati yaitu tergantung bersarnya belis, semakin tinggi belis yang ditentukan keluarga perempuan, maka semakin tinggi pula nominal yang harus dikumpulkan dalam anggota keluarga laki-laki.
Tradisi tersebut masih berlangsung hingga kini. Selain meringankan beban dari keluarga laki-laki tradisi ini juga mempererat persaudaran antara keluarga serta warga masyarakat, karena semua menjadi satu keluarga. Tradisi tersebut berlangsung terus menerus bilamana anggota keluarga yang lain juga mengalami hal yang sama.
Tradisi saling membantu ini tidak terbatas pada belis saja tetapi, untuk acara-acara adat lainnya. Belis  menjadi perekat hubungan sosial  dalam kelompok masyarakat. Dengan belis, masyarakat bersatu. Belis mampu membalut gotong-royong, kekerabatan, dan kebersamaan dalam satu ikatan.

Belis dan Nilai Luhur
            Di balik mahalnya belis di tanah Flores terdapat nilai-nilai luhur yang terus melekat. Melalui belis, kaum perempuan mendapat penghargaan tertinggi. Melalui perempuan, di dalam rahimnyalah kehidupan ini mulai terbentuk. Sehingga sudah sepantasnya apabila mereka mendapat penghargaan tertinggi. Selain itu, juga sebagai wujud terima kasih kepada keluarga perempuan yang telah merawat dan membesarkan anak perempuannya dari kecil hingga dewasa, bahkan sampai mendapat pekerjaan yang mapan.
            Berikutnya, belis menjadi simbol tanggung jawab dari laki-laki sebagai kepala keluarga. Pengayom istri dan anak, memberikan nafkah untuk keluarga yang dibangunnya. Sebagai kepala keluarga, sudah selayaknya menjadi panutan dalam rumah tangga.
Terakhir, belis sebagai makna “pengikat’. Setelah keduanya resmi menjadi suami istri, diharapkan agar saling menjaga. Mengingat perjuangan panjang dalam proses mengumpulkan belis yang melibatkan banyak pihak tentunya tidak disia-siakan begitu saja. Pengikat dalam kehidupan baru dari dua insan agar tetap setia, menghindari perceraian dan juga poligami.

Penutup
Persoalan belis di Manggarai adalah persoalan bersama, bukan lagi milik individu. Warisan nenek moyang yang terus dilestarikan dan tak luntur digerus zaman. Sebagai kearifan lokal, tradisi belis terus dirawat meski perlahan-lahan menjelma menjadi prestise dan status sosial. Kembali mengutip bagian akhir dari cerpen Poyk (2016) “Budaya dan adat-istiadat yang memang seharusnya dipertahankan, di satu sisi ternyata memberatkan si pelaku cinta yang seharusnya sudah menikah.” Jadi, meskipun begitu peliknya masalah belis di Manggarai tetap memiliki kekuatan yang “mempererat” tali persaudaran.

Sumber:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/ diakses 27 Mei 2020

Ngabur, Yohanes Efremi. 2016. Makna Perkawinan Bagi Suami Pada Masyarakat Manggarai (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Poyk, Fanny Jonathans. 2016. “Belis Si Mas Kawin” dalam Tanah Air: Cerpen Pilihan Kompas 2016. Jakarta: Kompas.

Minggu, 15 Maret 2020

Balutan Kenangan Manis Pelayanan

Oleh Bekti Yustiarti

Kenangan manis masa kecil menjadi bagian dari sepanjang peziarahan dalam hidupku. Puluhan tahun silam, ketika masih kanak-kanak aku tinggal di desa. Desa yang membuat iri bagi siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Terletak di lembah yang dikelilingi beberapa gunung dan perbukitan yang menambah keindahan alam. Tidak jauh di selatan, terbentang barisan Pegunungan Seribu yang sering disebut Gunung Kidul. Di utara menjulang Gunung Merapi dan Merbabu. Nun jauh di timur, tampak Gunung Lawu dan Perbukitan Bayat. Kalau orang memandang ke barat, terlihatlah Perbukitan Prambanan. Di tempat inilah aku menghabiskan masa kecil tanpa alas kaki.
Di sebelah barat rumah ada sungai yang cukup besar. Di seberang sungai sana sering digunakan untuk terminal lori tebu. Di musim panen tebu, kereta api tebu peninggalan Belanda (biasa kita sebut “montit”) setiap pagi selalu membawa sekitar 70-an lori di seberang sungai. Lori-lori yang diparkir di terminal lalu diangkut oleh pasangan sapi benggala (sapi besar dari India) ke sawah-sawah tebu di pinggiran Perbukitan Seribu (Gunung Kidul). Siangnya lori-lori yang sudah dipenuhi tebu itu dibawa kembali ke terminal seberang sungai. Biasanya anak-anak maupun remaja, kadang-kadang orang tua, suka mencuri tebu dari lori-lori itu. Suatu keasyikan tersendiri bagi orang muda desa. Tetapi mereka itu sangat takut sama mandor tebu, sebab apabila tertangkap bisa dibawa ke Gondang (tempat pabrik tebu) dan ditahan beberapa hari.
Setiap pagi selalu kunikmati semilirnya bayu yang sayup-sayup berdesir menyisir dedaunan dan hamparan sawah yang luas,  bak meniup permadani berwarna hijau. Kunikmati juga gemercik sungai yang membentuk alunan irama nan merdu. Di waktu pagi warga di desaku bisa menikmati terbitnya bola matahari berwarna jingga di ufuk timur yang muncul di punggung Gunung Lawu. Di sore hari, kami juga bisa menyaksikan mentari pelan-pelan menuju ke barat hendak menenggelamkan diri ke perbukitan Prambanan.

            Namaku Dihar, aku senang tinggal di desa. Bermain adalah kegiatan rutin yang kulakukan sepulang sekolah. Hobiku memanjat pohon sawo besar yang terletak di depa rumah, yang umurnya hampir 100 tahun. Aku membuat rumah pohon yang dibentuk dari kayu dan dahan. Rumah pohon kubuat senyaman mungkin. Di rumah pohon itu  aku biasa membaca-baca dan belajar. Di bawah rindangnya pohon sawo itu aku tidur siang denga AC alami dengan semilirnya hembusan angin semakin meninabobokan. Di kala musim berbuah, sawo-sawo matang bisa langsung kunikmati dari rumah pohon. Menyenangkan sekali.
            Menjelang sore aku bermain di tanggul pinggir sungai. Kunikmati jernihnya aliran sungai yang membasahi jari kakiku. Tiba-tiba aku dikagetkan seseorang dari belakang. “Dihar, ayo bal-balan nang lapanagan!”
“Wes akeh kancane to?”
“Wes pirang-pirang. Gari ngenteni kowe.”
“Yowes, ayo.”
Aku dan temanku segera menuju lapangan sepak bola. Di lapangan itu biasa kami bersama-sama bermain sepak bola. Bahkan tak hanya sepak bola, kami juga bermain layang-layang di sana. Para penggembala kerbau juga berbaur dengan kami. Kadang-kadang aku suka naik di atas punggung kerbau sambil membaca buku.
Saat beberapa hari tidak ada hujan. Air sungai sedikit berkurang. Aku mengajak teman-teman berenang di sungai yang biasa kami berenang bersama. Aku berlari duluan, teman-teman mengikutiku. Setiba di tepi sungai, aku mencopot pakaian kemudian terjun dari tanggul ke sungai. Aku kaget,  ternyata sungainya tidak dalam, hanya sebatas pinggang saja. Wah, kalau teman-teman tahu bahwa sungainya tidak dalam, teman-teman pasti tidak jadi mandi. Akupun tak kehilangan akal, aku pura-pura berenang, seakan-akan sungainya dalam.
 “Dalam tidak airnya?” tanya salah satu temanku.
“Kucoba dulu.” Jawabku.
Aku pura-pura menyelam, sambil tangan kanan kuangkat ke atas, sehingga hanya sedikit jari  yang tampak. Mereka mengira air sungai masih dalam. Lalu mereka bertiga berbarengan terjun ke sungai. Ternyata kedalamannya hanya setinggi pinggang. Mereka merasa tertipu dan memaki-maki. Aku tertawa girang karena berhasil menipu mereka. Akhirnya teman-teman pun ikut tertawa terbahak-bahak.
Saat musim kemarau, sungai-sungai biasa kekurangan air. Kami suka mencari ikan. Biasanya kami membendung sungai lalu menguras airnya. Setelah air terkuras ikan-ikan mudah ditangkapi. Selain ikan, kami juga suka mencari belut, baik siang maupun malam. Malam hari kami suka ngobor atau “nyuluh”.  Dengan lampu petromaks belut-belut di sawah itu tampak bermunculan di malam hari. Tinggal dipukul dengan golok lalu dimasukkan ke ember. Tidak sampai 1 jam sudah puluhan belut bisa dibawa pulang lalu digoreng untuk santapan malam.
Keisenganku dan teman-teman tak berhenti sampai di situ. Di pagi hari kami biasa mengikuti di belakang orang yang sedang “ngluku” untuk menggemburkan sawah. Ketika tanah sawah dibalikkan oleh ketajaman luku itu belut-belut keluar dari persembunyiaannya. Kami menangkap belut. Yang ahli menangkap mendapatkan banyak belut.
Beberapa sawah di daerahku sebagian wajib disewakan untuk ditanami tebu. Ketika tebu sudah tinggi dan masa mendekati panen, banyak anak-anak dan pemuda mencuri tebu. Suatu hari kakakku dan beberapa teman berencana mau mencuri tebu. Aku mau ikut, tetapi dimarahi kakak.
“Anak kecil tidak boleh ikut!” serunya. Lalu mereka bergegas ke ladang tebu dengan membawa sabit. Karena aku tidak boleh ikut, aku punya rencana lain. Kuputar otak bagaimana caranya bisa mencari tebu. Akhirnya aku sendirian pergi ke kebun tebu ke mana kakak dan teman-temannya pergi. Aku masuk ke kebun. Tak jauh dari situ terdengar suara orang memotong batang tebu. Kudekati arah suara itu. Ternyata mereka adalah kakak dan teman-teman. Kemudian aku ambil jalan memutar dari arah yang berlawanan dengan mereka. Aku amati mereka sampai mengupas tebu. Lalu berteriak ke arah mereka dengan suara yang kuperbesar seperti suara orang dewasa.
“Hai, siapa itu yang mencuri tebu?” Mereka kaget dan  lari pontang-panting. Aku semakin bersemangat meneriaki mereka.
“Hai, jangan lari!” Mereka semakin tunggang langgang menjauh. Aku menuju ke tempat mereka tadi memotong dan mengupas tebu. Aku temukan beberapa potong tebu yang sudah dikupas. Aku bawa pulang  4 potong tebu dengan gembira. Sampai di rumah, Kakak dan teman-teman heran melihat kedua tanganku menenteng 4 potong tebu sambil tersenyum-senyum.
“Dapat tebu dari mana kamu?” tanya kakakku.
 “Aku mendapati tebu-tebu ini tergeletak di tengah kebun.”
Lalu Kakakku setengah marah bertanya “Jadi kamu yang meneriaki kami tadi?”
“Habisnya aku mau ikut saja tidak boleh!” jawabku membela diri.
Saat malam bulan purnama orang-orang desa baik ibu-ibu, bapak-bapak maupun anak-anak keluar rumah untuk menikmati indahnya terang bulan. Mereka bertemu di sebuah pelataran luas. Anak-anak asyik bermain petak-umpet, jamuran, ular naga, cublak-cublak suweng, gobak-sodor, dll. Ibu-ibu menonton anak-anak yang sedang bermain sekaligus menjadi penggembira, sambil juga ikut menjadi wasit apabila terjadi perdebatan akibat kecurangan maupun salah-paham di antara kami. Bapak-bapak duduk-duduk sambil ngrokok dan ngomong-omong tentang sawah, acara desa maupun keadaan sekeliling.  Terang bulan di desa merupakan surga yang selalu dirindukan setiap bulannya.
Hari lain yang dinantikan adalah panen raya.  Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh warga. Pada musim panen raya, orang-orang desa bergembira. Sawah-sawah menguning di mana-mana. Hati para  petani berbunga-bunga. Para buruh tani dan para penuai sibuk membantu petani memanen di sawah. Ibu-ibu penuai berpindah-pindah dari sawah yang satu ke sawah yang lain secara berurutan. Orang-orang dari Gunung Kidul pun berdatangan ikut ambil bagian sebagai penuai maupun memanen jerami sebagai makanan ternak. Habis panen biasanya ada syukuran yang bernama bersih desa. Ada kendurinan bersama di setiap pedukuhan. Ada tanggapan wayang kulit sehari-semalam atau hanya semalam di Balai desa sebagai bentuk ucapan syukur.
Kenangan manis itu kini terbingkai dalam bentuk karya pelayanan bagi sesama yang tak akan pernah memudar. Tetap setia dalam pelayananku.

Cerpen ini telah dimuat dalam buku Mozaik Pengalaman Hidup (Hal. 172-175) tahun 2017, diterbitkan oleh SDU Press, Yogyakarta.

Minggu, 23 September 2018

Sudahkah Merdeka dari Dampak Negatif Gawai?


Gawai atau lebih dikenal dengan istilah gadget merupakan salah satu alat komunikasi yang dimiliki hampir setiap orang. Kemajuan teknologi  yang dapat digunakan melalui gadget memang  mempermudah aktivitas manusia sekarang ini. Ibaratnya semua bisa dilakukan melalui genggaman tangan, misalnya belanja, memesan tiket pesawat atau hotel, memesan transportasi secara online, meminjam uang, dan lain-lain dapat dilakukan dengan ketikan jempol.
Terlepas dari kecanggihannya dengan berbagai aplikasi yang dapat diunduh dari gawai kita, penggunaan gawai akhir-akhir ini sudah melebihi batas normal. Berapa jam dalam sehari kita menggunakan gawai? Tentunya jawabannya bervariasi bisa dua jam, tiga jam, bahkan berjam-jam orang menghabiskan waktu dalam sehari untuk menggunakan gawai.
Hal yang memprihatinkan adalah penggunaan gawai pada anak usia dini secara berlebihan. Bisa dibayangkan anak usia 2 sampai 3 tahun sudah mahir memainkan ponsel, tablet, dan sejenisnya. Bahkan yang lebih miris banyak orang tua yang memberikan gawai kepada anaknya dengan alasan tertentu, misalnya agar anak diam, agar anak tidak menangis, agar anak tidak mengganggu pekerjaan orang tua, dan alasan-alasan lainnya.
Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap bahaya penggunaan gawai secara berlebihan menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan khususnya pada anak usia dini karena akan berdampak negatif. Anak usia dini belum memerlukan gawai, apalagi masa usia 2 sampai 3 tahun. Pada anak usia ini yang diperlukan adalah belajar motorik seperti berjalan, berbicara, dan bersosialisasi dengan lingkungan terdekatnya. Apabila kemampuan motoriknya tidak dirangsang dengan baik karena terlalu banyak menggunakan gawai maka akan berdampak pada anak itu sendiri, misalnya mengalami keterlambatan bicara, mudah marah, dan anti sosial.
Penggunaan gawai yang berlebihan memang terjadi pada semua kalangan. Remaja juga menjadi salah satu perhatian atas dampak negatif yang terjadi pada mereka. Banyak orang tua yang mengeluhkan anaknya yang malas belajar, kurang bersosialisasi dengan keluarga dan lingkungan. Selain itu juga berpengaruh terhadap kesehatan seperti mata manjadi minus, obesitas karena terlalu lama duduk, dan kurang konsentrasi akibat tidur larut malam.
Bagaimana peran kita sebagai orang tua agar anak-anak bisa merdeka dari dampak negatif gawai? Tentunya sebagai orang tua kita harus bijak dalam menggunakan gawai termasuk bijak pula dalam bermedia sosial. Pertama, kita harus tegas terhadap anak. Bukan berarti tidak boleh sama sekali, tetapi konsiten dalam menggunakan gawai, misalnya pada jam-jam tertentu baru diperbolehkan. Kedua, kita harus mengawasi anak dalam menggunakan gawai terutama dalam mengakses internet. Batasilah penggunaan jaringan internet. Ketiga, luangkan waktu bersama anak-anak sekadar mengobrol atau makan bersama. Terakhir, pilihlah kegiatan-kegiatan yang membuat anak lupa dengan gawainya, misalnya olah raga atau kegiatan motorik lainnya yang sesuai dengan bakat dan kemampuan.
Di sisi lain, media sosial juga memiliki dampak negatif sebagai ajang pamer, bullying,  penipuan, dan juga berita-berita hoax yang menimbulkan kesalahpahan dan perpecahan. Dalam hal ini kita harus pandai memilih informasi yang benar-benar sesuai.
Pada dasarnya gawai memiliki dampak positif apabila dimanfaatkan dengan baik dan benar. Oleh karena itu, gunakanlah gawai secara bijak, pakailah sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan agar kita dapat menikmati dampak positif dari canggihnya teknologi serta dapat merdeka dari dampak negatif akibat penggunaan yang berlebihan dan kurang tepat.

Minggu, 08 Januari 2017

Memberi yang Terbaik

(Kisah Pengajar Tunagrahita)
Oleh: Bekti Yustiarti 
Tulisan ini sudah dimuat pada Jurnal Sastra Edisi 14 Volume Nomor 6 Desember 2016
Terlahir dengan ketidaksempurnaan bukan berarti tidak bisa berkreatifitas. Keterbatasan fisik yang dimiliki seseorang juga bukan menjadi hambatan bagi mereka untuk berprestasi. Itulah yang dialami oleh teman-teman kecil di sebuah yayasan di Medan yang menampung anak berkebutuhan khusus. Anak-anak tersebut adalah anak yang mengalami keterlambatan perkembangan atau sering disebut dengan tunagrahita. Menurut salah seorang  ahli, anak tunagrahita adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan daya pikir serta seluruh kepribadiannya sehingga mereka tidak mampu dengan kekuatan sendiri di dalam masyarakat meskipun dengan cara hidup yang sederhana (Munzayanah, 2000: 14 dalam forumgurunusantara.blogspot.com diakses 18 Oktober 2016).
Mengajar di sekolah yang berkebutuhan khusus tentu berbeda dengan sekolah normal. Tidak mudah memang mendampingi mereka yang sangat luar biasa. Menyadari bahwa anak berkebutuhan khusus adalah unik. Diperlukan kesabaran yang lebih, keterampilan, ketulusan, dan keikhlasan dalam mendampingi mereka. Guru juga harus memahami karakter setiap anak yang berbeda-beda. Misalnya anak yang pelupa, anak yang sangat aktif, anak yang suka berteriak-teriak, dan karakter-karakter khusus lainnya.
Sama halnya dengan anak yang normal, mereka juga melakukan kegiatan-kegiatan selayaknya anak seusianya yaitu sekolah, bermain, melakukan kegiatan sehari-hari. Sebagai contoh menyapu, olahraga, rekreasi, dan kegiatan-kegiatan psikomotorik lainnya. Mereka juga diajari budi pekerti agar mampu berperilaku dengan baik sehingga secara tidak langsung apabila memiliki etika yang baik dapat diterima di lingkungan masyarakat.
Menurut Ibu Maria, seorang guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) mengatakan bahwa kesulitan yang dihadapi saat mengajar anak-anak yang berkebutuhan khusus adalah kemampuan anak yang satu dengan yang lain berbeda, jadi guru harus bisa membagi waktu dalam satu hari untuk mengajar mereka. “Di kelas saya, siswanya nggak banyak hanya lima anak tetapi menanganinya sangat super, melebihi 43 anak di sekolah umum,” ujarnya. Ketika guru membimbing anak yang satu, maka yang lain harus diberi kegiatan agar tidak mengganggu. Kendalanya adalah terkadang materi tidak bisa selesai dalam satu semester, sebab kemampuan anak sangat lemah dalam menyerap pelajaran.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah  guru juga harus menyederhanakan kalimat yang akan disampaikan kepada mereka agar maknanya dapat dimengerti dengan mudah. Penyampaiannya juga harus pelan-pelan disertai penjelasan dengan alat peraga yang tersedia.
Keterbatasan itu tidak mematahkan semangat anak-anak. Sebagai contoh seorang anak penyandang tunagrahita sedang melakukan kegiatan membersihkan sekolah dengan gurunya. Dengan kepolosan dan ketulusannya mereka melakukan hal-hal yang berguna tanpa pamrih. Dengan arahan yang benar mereka dapat memaksimalkan bakat yang dimiliki, bahkan mereka juga bisa menonjolkan bakatnya melebihi anak yang normal. Misalnya kemampuan di bidang musik, olahraga, atau keterampilan seni lainnya yang tidak kalah dengan anak-anak normal. Lihatlah pula senyum polos mereka! Di balik senyum polos itu, mereka membutuhkan kasih sayang, perhatian, perlindungan, kehangatan, dan keluarga. Karena tidak sedikit dari mereka yang ditelantarkan oleh orang tuanya dengan berbagai macam alasan.
Di akhir perbincangan dengan beliau, “Sekarang kesulitan itu sudah berlalu. Sebab kami sudah memahami bagaimana karakter dan kemampuan mereka. Jadi dalam mengajarkan mereka di kelas juga tidak ada kesulitan. Mungkin kesulitan itu akan ditemui ketika baru pertama mengenal mereka yang tidak tahu bagaimana menghadapinya.” Memberikan dan melakukan yang terbaik untuk mereka adalah  hal yang mulia.
Terlepas dari itu semua, penyandang tunagrahita perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak agar mereka dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki. Masih banyak anak penyandang tunagrahita yang belum mendapat perhatian dan bahkan dikucilkan oleh sebagian orang karena keterbatasan yang dimilikinya. Padahal apabila potensi mereka diasah dengan baik mereka juga  dapat menjadi yang terbaik sesuai kemampuannya.

Sumber:
forumgurunusantara.blogspot.com diakses 18 Oktober 2016
Maria Devy Bukit Sintawati (Guru SLB di Medan)


Selasa, 30 Agustus 2016

Balutan Sistem Kekerabatan Matrilineal

Oleh: Bekti Yustiarti
Sistem kekerabatan matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang  alur keturunan berasal dari pihak ibu.  Penganut system kekeraban matrilineal merupakan kelompok minoritas. Rata-rata penganut sistem kekerabatan matrilineal  hanya berupa komunitas-komunitas kecil. Di Indonesia system kekerabatan matrilineal hanya terdapat di Minangkabau. Karena Minangkabau sebagai satu-satunya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal maka hal tersebut sangat unik.
Salah satu hal yang unik adalah mencari jodoh keluar lingkungan kerabat matrilineal yang disebut eksogami. Pada saat perkawinan, suami dijemput oleh keluarga perempuan dengan upacara adat untuk kemudian di bawa kerumah istri. Istri pantang mengeluh kepada suami, sehingga suami tidak mempunyai beban berat dalam rumah tangganya.
Sistem matrilineal adalah sistem yang mengatur kehidupan suatu masyarakat yang terikat dalam jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak di Minangkabau akan mengikuti suku ibunya. Dengan kata lain, pembagian warisan secara turun temurun akan diwariskan kepada anak perempuan, sedangkan anak laki-laki tidak berhak mendapatkannya. Sistem matrilineal ini dikukuhkan untuk menjaga dan melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan. Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan.Sedangkan laki-laki mempunyai peranan penting untuk mengatur dan mempertahankan harta pusaka  tersebut.
Peran ibu di Minangkabau sangat istimewa. Keistimewaan Ibu adalah tiang keluarga, pendidik dan penguasa dalam rumah tangga. Oleh karena itulah Ibu dijadikan lambing keturunan dan bahwa anak bersuku ke suku ibu. Walau perempuan mendapat posisi tertinggi dalam adat keluarga, namun dalam system pemerintahan adat dan sebagai pemimpin komunitas tetap dipegang oleh kaum laki-laki.
            Salah satu penerapan dari sistem Matrilineal ini adalah penggunaan nama suku di belakang nama asli misalnya Mandailiang, Sikumbang, Piliang, dan lain sebagainya, Hal tersebut merupakan bentuk penghargaan dan kebanggaan terhadap budaya daerah sendiri.

Menurut Wirna (37) asli suku Minang menjelaskan mengenai system kekerabatan matrilineal adalah garis keturunan menurut ibu, suku anak Minang sama dengan suku ibu. Di Minang perempuan yang paling berharga, selain sebagai penerus keturunan saja tetapi harta pusako (hartawarisan) diberikan kepada anak perempuan.
Beliau juga menjelaskan mengenai perkawinan suku Minang. Saat menikah, apabila mereka beragama muslim maka yang member mahar tetap dari pihak laki-laki. Mahar utama yang diberikan adalah seperangkat alat sholat, namun apabila ada tambahan yang lain juga diperbolehkan.
Dalam tradisi Minang dikenal perempuan yang membeli laki-laki. Maksud membeli di sini adalah sebuah adat yang dapat diterapkan atau pun tidak berdasarkan kesepakatan ninik mamak. Dalam wikipedia.org ninik mamak diartikan sebagai suatu lembaga adat yang terdiri dari beberapa orang penghulu yang berasal dari berbagai kaum atau klan yang ada dalam suku-suku di Minangkabau. Lembaga ini diisi oleh pemimpin-pemimpin dari beberapa keluarga besar atau kaum atau klan yang disebut penghulu, dimana kepemimpinannya diwariskan secara turun temurun sesuai adat matrilineal  Minangkabau. Jabatan penghulu dipangku oleh seorang laki-laki Minangkabau yang dituakan dan dipandang mampu memimpin dengan bijaksana
Sistem kekerabatan matrilineal sampai saat ini masih bertahan karena terus dijaga oleh masyarakat. Mengutip tulisan Cecep Lukmanul Hakim dalam ilmu humaniora.blogspot.go.id  perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.
Sumber:
-          Sistem Kekerabatan Masyarakat Minangkabau oleh Cecep Lukmanul Hakim dalam ilmuhumaniora.blogspot.go.iddiakses 21 April 2016
-          Definisi ninik mamak dalam wikipedia.orgdiakses 21 April 2016
-          Wirna, 37 tahun (SukuMinangkabau).

Esai ini telah terbitkan dalam Jurnal Aksara edisi 11, Hal 21-25, Juni 2016.