(Kisah Pengajar Tunagrahita)
Oleh: Bekti Yustiarti
Tulisan ini sudah dimuat pada Jurnal Sastra Edisi 14 Volume Nomor 6 Desember 2016
Terlahir
dengan ketidaksempurnaan bukan berarti tidak bisa berkreatifitas. Keterbatasan
fisik yang dimiliki seseorang juga bukan menjadi hambatan bagi mereka untuk
berprestasi. Itulah yang dialami oleh teman-teman kecil di sebuah yayasan di
Medan yang menampung anak berkebutuhan khusus. Anak-anak tersebut adalah anak
yang mengalami keterlambatan perkembangan atau sering disebut dengan
tunagrahita. Menurut salah seorang ahli,
anak tunagrahita adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan daya
pikir serta seluruh kepribadiannya sehingga mereka tidak mampu dengan kekuatan
sendiri di dalam masyarakat meskipun dengan cara hidup yang sederhana (Munzayanah,
2000: 14 dalam forumgurunusantara.blogspot.com diakses 18 Oktober 2016).
Mengajar
di sekolah yang berkebutuhan khusus tentu berbeda dengan sekolah normal. Tidak
mudah memang mendampingi mereka yang sangat luar biasa. Menyadari bahwa anak
berkebutuhan khusus adalah unik. Diperlukan kesabaran yang lebih, keterampilan,
ketulusan, dan keikhlasan dalam mendampingi mereka. Guru juga harus memahami
karakter setiap anak yang berbeda-beda. Misalnya anak yang pelupa, anak yang
sangat aktif, anak yang suka berteriak-teriak, dan karakter-karakter khusus
lainnya.
Sama
halnya dengan anak yang normal, mereka juga melakukan kegiatan-kegiatan
selayaknya anak seusianya yaitu sekolah, bermain, melakukan kegiatan
sehari-hari. Sebagai contoh menyapu, olahraga, rekreasi, dan kegiatan-kegiatan
psikomotorik lainnya. Mereka juga diajari budi pekerti agar mampu berperilaku
dengan baik sehingga secara tidak langsung apabila memiliki etika yang baik
dapat diterima di lingkungan masyarakat.
Menurut
Ibu Maria, seorang guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) mengatakan bahwa kesulitan
yang dihadapi saat mengajar anak-anak yang berkebutuhan khusus adalah kemampuan
anak yang satu dengan yang lain berbeda, jadi guru harus bisa membagi waktu
dalam satu hari untuk mengajar mereka. “Di kelas saya, siswanya nggak banyak hanya lima anak tetapi
menanganinya sangat super, melebihi 43 anak di sekolah umum,” ujarnya. Ketika
guru membimbing anak yang satu, maka yang lain harus diberi kegiatan agar tidak
mengganggu. Kendalanya adalah terkadang materi tidak bisa selesai dalam satu
semester, sebab kemampuan anak sangat lemah dalam menyerap pelajaran.
Hal
lain yang harus diperhatikan adalah guru
juga harus menyederhanakan kalimat yang akan disampaikan kepada mereka agar
maknanya dapat dimengerti dengan mudah. Penyampaiannya juga harus pelan-pelan
disertai penjelasan dengan alat peraga yang tersedia.
Keterbatasan
itu tidak mematahkan semangat anak-anak. Sebagai contoh seorang anak penyandang
tunagrahita sedang melakukan kegiatan membersihkan sekolah dengan gurunya. Dengan
kepolosan dan ketulusannya mereka melakukan hal-hal yang berguna tanpa pamrih.
Dengan arahan yang benar mereka dapat memaksimalkan bakat yang dimiliki, bahkan
mereka juga bisa menonjolkan bakatnya melebihi anak yang normal. Misalnya
kemampuan di bidang musik, olahraga, atau keterampilan seni lainnya yang tidak
kalah dengan anak-anak normal. Lihatlah pula senyum polos mereka! Di balik
senyum polos itu, mereka membutuhkan kasih sayang, perhatian, perlindungan,
kehangatan, dan keluarga. Karena tidak sedikit dari mereka yang ditelantarkan
oleh orang tuanya dengan berbagai macam alasan.
Di
akhir perbincangan dengan beliau, “Sekarang kesulitan itu sudah berlalu. Sebab
kami sudah memahami bagaimana karakter dan kemampuan mereka. Jadi dalam
mengajarkan mereka di kelas juga tidak ada kesulitan. Mungkin kesulitan itu
akan ditemui ketika baru pertama mengenal mereka yang tidak tahu bagaimana
menghadapinya.” Memberikan dan melakukan yang terbaik untuk mereka adalah hal yang mulia.
Terlepas
dari itu semua, penyandang tunagrahita perlu mendapatkan perhatian yang serius
dari berbagai pihak agar mereka dapat mengembangkan berbagai potensi yang
dimiliki. Masih banyak anak penyandang tunagrahita yang belum mendapat
perhatian dan bahkan dikucilkan oleh sebagian orang karena keterbatasan yang
dimilikinya. Padahal apabila potensi mereka diasah dengan baik mereka juga dapat menjadi yang terbaik sesuai
kemampuannya.
Sumber:
forumgurunusantara.blogspot.com diakses
18 Oktober 2016
Maria Devy Bukit Sintawati (Guru SLB di
Medan)