Oleh:
Bekti Yustiarti
“Sebenarnya budaya
belis itu bagus,” kata pamanku, Om Eben, sepupu ayah yang bertugas di kantor
pencatatan sipil. “Itu menandakan bagaimana tingginya harkat dan martabat
seorang perempuan Rote” (Poyk, 2016). Penggalan cerpen karya Fanny Jonathans
Poyk yang berjudul “Belis Si Mas Kawin” adalah gambaran nyata mengenai belis
yang masih dipertahankan di Manggarai. “Meski
zaman sudah modern, di mana era informasi teknologi merasuk dengan cepat ke
otak para generasi muda dan dunia maya menjadi alat komunikasi canggih yang
super cepat, belis tak lekang oleh segala gempita teknologi yang merajai dunia
itu”, (Poyk, 2016).
Belis
atau mahar memang tidak akan pernah lekang oleh waktu, hal itu sudah menjadi
sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat. Istilah belis tidak dapat dipisahkan dengan
perkawinan di Manggarai. Belis
merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada pihak
wanita. Salah satu daerah yang menggunakan belis
sebagai syarat perkawinan adalah Manggarai, Pulau Flores.
Apabila
kita pernah mendengar lagu dengan judul
“Cinta Tanpa Syarat”, maka lirik lagu tersebut tidak berlaku di Manggarai.
Cinta di tanah Flores memang bersyarat yaitu dengan belis. Belis atau mahar
yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki memang tidak murah, bisa mencapai
ratusan juta. Modal cinta saja tidak cukup untuk mengantarkan hubungan dua
insan menuju pelaminan. Bahkan hubungan cinta bisa kandas di tengah jalan atau
juga “cintaku kandas di rerumputan,” kata Ebiet G. Ade karena terganjal belis.
Belis
adalah mas kawin (di Sumba): besar
kecilnya pembayaran-biasanya bergantung pada tawar menawar (KBBI daring,
2020). Istilah belis tidak terbatas
di Sumba saja, tetapi digunakan di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur. Pada
zaman dahulu belis diberikan dalam bentuk kain, hewan: kerbau, kuda. Seiring
berjalannya waktu belis dibayarkan
dalam bentuk uang. Jumlahnya uang yang dibayarkan oleh anak wina (sebutan untuk keluarga dari pihak laki-laki) kepada anak rona (sebutan untuk keluarga dari
pihak perempuan) telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam
sistem perkawinan orang Nusa Tenggara Timur umumnya menganut sistem genealogis patrilineal (mengikuti garis
keturunan ayah) dan disempurnakan oleh ritual berupa belis (material) yang wajib dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki
berdasarkan kesepakatan kedua keluarga mempelai (https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1390261013-2-BAB%20I.pdf
diakses 1 Juni 2020)
Upacara Masuk Minta dan Belis
Sebelum
melangkah ke pelaminan terdapat upacara masuk minta atau acara lamaran. Masuk
minta merupakan kegiatan lamaran pada umumnya, yaitu pihak keluarga laki-laki mendatangi
keluarga perempuan. Keluarga pihak laki-laki beserta tongka (juru bicara dari pihak laki) mendatangi rumah keluarga
perempuan. Begitu juga dengan keluarga perempuan, berkumpul dan menyambut keluarga
pihak laki-laki berdasarkan tata cara adat. Biasanya menggunakan ayam jantan
berwarna putih (manuk lalong bakok)
sebagai simbol ucapan syukur kepada Tuhan.
Tempat
penyambutan keluarga laki-laki disiapkan sedemikian rupa oleh pihak perempuan.
Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Manggarai biasa menggunakan tikar
tradisional yang terbuat dari pandan dengan warna dominan ungu. Para tamu dan
pihak yang dikunjungi berkumpul dengan duduk bersila.
Kegiatan
yang dilakukan saat masuk minta yaitu melamar pihak perempuan yang diwakili tongka dari pihak laki-laki. Apabila
lamaran diterima, maka proses selanjutnya adalah tukar cincin. Proses ini
adalah peminangan tahap awal.
Tahap
lain yang tak kalah penting dalam acara masuk minta adalah membicarakan belis. Proses perundingan kedua belah
pihak pun berlangsung. Besarnya belis
yang yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki berdasarkan ketentuan dari
pihak perempuan dan berdasarkan persetujuan akhir dari kedua belah pihak.
Perempuan sebagai Penentu Besarnya
Belis
Pihak
perempuan memiliki kuasa untuk menentukan besarnya belis. Keluarga pihak perempuanlah yang memutuskan berapa besarnya belis, bahkan anak perempuan yang hendak
dipinang terkadang tidak tahu jumlah nominal yang disepakati keluaga. Si anak
perempuan, cukup tahu saat urusan sudah selesai dan siap melangkah ke
pelaminan. “Soalnya saya cuma tau udah
selesai aja. Pihak suami saya yang setor.” Tutur Ibu muda asli Manggarai
yang menikah pada tahun 2014.
Hal
tersebut dilakukan karena pihak perempuan dianggap sebagai penerus kehidupan ini.
Perempuan sebagai penerus keturunan yang generasi mendatang. Oleh karena itu,
perempuan berhak menentukan besarnya belis. Dengan belis
yang diterima dari pihak laki-laki, maka perempuan mendapat penghargaan
tertinggi. Belis merupakan mahar pernikahan dalam budaya masyarakat Nusa
Tenggara Timur terkhusus masyarakat Manggarai; sebagai penghormatan pada perempuan
(Nggoro, 2013 via Ngabur, 2016)
Seiring
dengan berkebangnya zaman, penentuan besarnya belis oleh pihak perempuan juga
berdasarkan “bibit, bebet, dan bobot”.
Umumnya, besarnya belis juga tidak
terlepas dari status sosial dan ekonomi dari pihak perempuan maupun pihak
laki-laki. Selain itu, besarnya belis
juga dilihat dari si calon mempelai perempuan. Sebagai contoh, tingkat
pendidikan perempuan juga dapat dijadikan patokan penentuan besarnya belis. Perempuan yang lulusan sekolah
menengah misalnya dengan belis 50
juta, sedangkan lulusan sarjana tentunya dengan belis yang lebih tinggi, bisa sampai ratusan juta. Belis untuk perempuan Manggarai saat ini
berkisar antara 50 – 500 juta rupiah bergantung pada pendidikan perempuan yang
akan diperistri mempelai laki-laki (Jilung, 2013 via Ngabur, 2016)
Belis Melibatkan Keluarga
Ketika
berbicara belis, bukan lagi menjadi
persoalan individu, tetapi akan melibatkan keluarga besar. Bagul (1997 via
Ngabur 2016) perkawinan dalam lingkup budaya terutama dalam budaya orang
Manggarai menjelaskan dalam beberapa makna mengungkapkan kebutuhan dasar
manusia untuk berada bersama dengan yang
lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera. Subur dan berkembang,
membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan orang lain atau kelompok lain.
Menjadikan keluarga sebagai ruang transmisi nilai budaya dan moral. Menjadikan
kebebasan manusia terlembaga dalam satu tatanan moral dan etika seperti
menghargai perempuan yang sudah bersuami.
Belis
yang dipatok dengan nominal tinggi, sudah pasti melibatkan keluarga besar pihak
laki-laki. Dalam hal ini, keluarga besar berkumpul untuk memecah masalah
bersama. Hal yang dilakukan oleh warga Manggarai adalah berdiskusi dengan
anggota keluaga, bahkan bisa melibatkan orang sekampung untuk membicarakan belis. Seluruh anggota keluarga dan warga kampung “patungan” mengumpulkan uang (kumpul kope) dengan nominal yang telah
disepakati yaitu tergantung bersarnya belis,
semakin tinggi belis yang ditentukan
keluarga perempuan, maka semakin tinggi pula nominal yang harus dikumpulkan
dalam anggota keluarga laki-laki.
Tradisi
tersebut masih berlangsung hingga kini. Selain meringankan beban dari keluarga
laki-laki tradisi ini juga mempererat persaudaran antara keluarga serta warga
masyarakat, karena semua menjadi satu keluarga. Tradisi tersebut berlangsung
terus menerus bilamana anggota keluarga yang lain juga mengalami hal yang sama.
Tradisi
saling membantu ini tidak terbatas pada belis
saja tetapi, untuk acara-acara adat lainnya. Belis menjadi perekat
hubungan sosial dalam kelompok
masyarakat. Dengan belis, masyarakat bersatu. Belis mampu membalut gotong-royong, kekerabatan, dan kebersamaan
dalam satu ikatan.
Belis dan Nilai Luhur
Di
balik mahalnya belis di tanah Flores
terdapat nilai-nilai luhur yang terus melekat. Melalui belis, kaum perempuan mendapat penghargaan tertinggi. Melalui
perempuan, di dalam rahimnyalah kehidupan ini mulai terbentuk. Sehingga sudah
sepantasnya apabila mereka mendapat penghargaan tertinggi. Selain itu, juga
sebagai wujud terima kasih kepada keluarga perempuan yang telah merawat dan
membesarkan anak perempuannya dari kecil hingga dewasa, bahkan sampai mendapat
pekerjaan yang mapan.
Berikutnya, belis menjadi simbol tanggung jawab dari laki-laki sebagai kepala
keluarga. Pengayom istri dan anak, memberikan nafkah untuk keluarga yang
dibangunnya. Sebagai kepala keluarga, sudah selayaknya menjadi panutan dalam
rumah tangga.
Terakhir,
belis sebagai makna “pengikat’.
Setelah keduanya resmi menjadi suami istri, diharapkan agar saling menjaga.
Mengingat perjuangan panjang dalam proses mengumpulkan belis yang melibatkan
banyak pihak tentunya tidak disia-siakan begitu saja. Pengikat dalam kehidupan
baru dari dua insan agar tetap setia, menghindari perceraian dan juga poligami.
Penutup
Persoalan
belis di Manggarai adalah persoalan
bersama, bukan lagi milik individu. Warisan nenek moyang yang terus
dilestarikan dan tak luntur digerus zaman. Sebagai kearifan lokal, tradisi belis terus dirawat meski perlahan-lahan
menjelma menjadi prestise dan status sosial. Kembali mengutip bagian akhir dari
cerpen Poyk (2016) “Budaya dan adat-istiadat yang memang seharusnya
dipertahankan, di satu sisi ternyata memberatkan si pelaku cinta yang
seharusnya sudah menikah.” Jadi, meskipun begitu peliknya masalah belis di Manggarai tetap memiliki
kekuatan yang “mempererat” tali persaudaran.
Sumber:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
diakses 27 Mei 2020
https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1390261013-2-BAB%20I.pdf diakses 2 Juni
2020
Ngabur,
Yohanes Efremi. 2016. Makna Perkawinan
Bagi Suami Pada Masyarakat Manggarai (Skripsi). Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.
Poyk,
Fanny Jonathans. 2016. “Belis Si Mas Kawin” dalam Tanah Air: Cerpen Pilihan Kompas 2016. Jakarta: Kompas.