Kenangan
manis masa kecil menjadi bagian dari sepanjang peziarahan dalam hidupku.
Puluhan tahun silam, ketika masih kanak-kanak aku tinggal di desa. Desa yang
membuat iri bagi siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di tempat ini.
Terletak di lembah yang dikelilingi beberapa gunung dan perbukitan yang
menambah keindahan alam. Tidak jauh di selatan, terbentang barisan Pegunungan
Seribu yang sering disebut Gunung Kidul. Di utara menjulang Gunung Merapi dan
Merbabu. Nun jauh di timur, tampak Gunung Lawu dan Perbukitan Bayat. Kalau
orang memandang ke barat, terlihatlah Perbukitan Prambanan. Di tempat inilah
aku menghabiskan masa kecil tanpa alas kaki.
Di sebelah barat rumah
ada sungai yang cukup besar. Di seberang sungai sana sering digunakan untuk
terminal lori tebu. Di musim panen tebu, kereta api tebu peninggalan Belanda
(biasa kita sebut “montit”) setiap pagi selalu membawa sekitar 70-an lori di
seberang sungai. Lori-lori yang diparkir di terminal lalu diangkut oleh
pasangan sapi benggala (sapi besar dari India) ke sawah-sawah tebu di pinggiran
Perbukitan Seribu (Gunung Kidul). Siangnya lori-lori yang sudah dipenuhi tebu
itu dibawa kembali ke terminal seberang sungai. Biasanya anak-anak maupun
remaja, kadang-kadang orang tua, suka mencuri tebu dari lori-lori itu. Suatu
keasyikan tersendiri bagi orang muda desa. Tetapi mereka itu sangat takut sama
mandor tebu, sebab apabila tertangkap bisa dibawa ke Gondang (tempat pabrik
tebu) dan ditahan beberapa hari.
Setiap pagi selalu
kunikmati semilirnya bayu yang sayup-sayup berdesir menyisir dedaunan dan hamparan
sawah yang luas, bak meniup permadani
berwarna hijau. Kunikmati juga gemercik sungai yang membentuk alunan irama nan
merdu. Di waktu pagi warga di desaku bisa menikmati terbitnya bola matahari
berwarna jingga di ufuk timur yang muncul di punggung Gunung Lawu. Di sore hari,
kami juga bisa menyaksikan mentari pelan-pelan menuju ke barat hendak
menenggelamkan diri ke perbukitan Prambanan.
Namaku Dihar, aku senang tinggal di
desa. Bermain adalah kegiatan rutin yang kulakukan sepulang sekolah. Hobiku
memanjat pohon sawo besar yang terletak di depa rumah, yang umurnya hampir 100
tahun. Aku membuat rumah pohon yang dibentuk dari kayu dan dahan. Rumah pohon
kubuat senyaman mungkin. Di rumah pohon itu
aku biasa membaca-baca dan belajar. Di bawah rindangnya pohon sawo itu
aku tidur siang denga AC alami dengan semilirnya hembusan angin semakin
meninabobokan. Di kala musim berbuah, sawo-sawo matang bisa langsung kunikmati
dari rumah pohon. Menyenangkan sekali.
Menjelang sore aku bermain di
tanggul pinggir sungai. Kunikmati jernihnya aliran sungai yang membasahi jari
kakiku. Tiba-tiba aku dikagetkan seseorang dari belakang. “Dihar, ayo bal-balan
nang lapanagan!”
“Wes
akeh kancane to?”
“Wes
pirang-pirang. Gari ngenteni kowe.”
“Yowes,
ayo.”
Aku dan temanku segera
menuju lapangan sepak bola. Di lapangan itu biasa kami bersama-sama bermain
sepak bola. Bahkan tak hanya sepak bola, kami juga bermain layang-layang di
sana. Para penggembala kerbau juga berbaur dengan kami. Kadang-kadang aku suka
naik di atas punggung kerbau sambil membaca buku.
Saat beberapa hari
tidak ada hujan. Air sungai sedikit berkurang. Aku mengajak teman-teman
berenang di sungai yang biasa kami berenang bersama. Aku berlari duluan, teman-teman
mengikutiku. Setiba di tepi sungai, aku mencopot pakaian kemudian terjun dari
tanggul ke sungai. Aku kaget, ternyata
sungainya tidak dalam, hanya sebatas pinggang saja. Wah, kalau teman-teman tahu
bahwa sungainya tidak dalam, teman-teman pasti tidak jadi mandi. Akupun tak
kehilangan akal, aku pura-pura berenang, seakan-akan sungainya dalam.
“Dalam tidak airnya?” tanya salah satu
temanku.
“Kucoba dulu.” Jawabku.
Aku pura-pura menyelam,
sambil tangan kanan kuangkat ke atas, sehingga hanya sedikit jari yang tampak. Mereka mengira air sungai masih
dalam. Lalu mereka bertiga berbarengan terjun ke sungai. Ternyata kedalamannya
hanya setinggi pinggang. Mereka merasa tertipu dan memaki-maki. Aku tertawa girang
karena berhasil menipu mereka. Akhirnya teman-teman pun ikut tertawa
terbahak-bahak.
Saat musim kemarau,
sungai-sungai biasa kekurangan air. Kami suka mencari ikan. Biasanya kami
membendung sungai lalu menguras airnya. Setelah air terkuras ikan-ikan mudah
ditangkapi. Selain ikan, kami juga suka mencari belut, baik siang maupun malam.
Malam hari kami suka ngobor atau “nyuluh”. Dengan lampu petromaks belut-belut di sawah
itu tampak bermunculan di malam hari. Tinggal dipukul dengan golok lalu
dimasukkan ke ember. Tidak sampai 1 jam sudah puluhan belut bisa dibawa pulang
lalu digoreng untuk santapan malam.
Keisenganku dan
teman-teman tak berhenti sampai di situ. Di pagi hari kami biasa mengikuti di
belakang orang yang sedang “ngluku”
untuk menggemburkan sawah. Ketika tanah sawah dibalikkan oleh ketajaman luku
itu belut-belut keluar dari persembunyiaannya. Kami menangkap belut. Yang ahli
menangkap mendapatkan banyak belut.
Beberapa sawah di
daerahku sebagian wajib disewakan untuk ditanami tebu. Ketika tebu sudah tinggi
dan masa mendekati panen, banyak anak-anak dan pemuda mencuri tebu. Suatu hari
kakakku dan beberapa teman berencana mau mencuri tebu. Aku mau ikut, tetapi
dimarahi kakak.
“Anak kecil tidak boleh
ikut!” serunya. Lalu mereka bergegas ke ladang tebu dengan membawa sabit.
Karena aku tidak boleh ikut, aku punya rencana lain. Kuputar otak bagaimana
caranya bisa mencari tebu. Akhirnya aku sendirian pergi ke kebun tebu ke mana
kakak dan teman-temannya pergi. Aku masuk ke kebun. Tak jauh dari situ terdengar
suara orang memotong batang tebu. Kudekati arah suara itu. Ternyata mereka
adalah kakak dan teman-teman. Kemudian aku ambil jalan memutar dari arah yang
berlawanan dengan mereka. Aku amati mereka sampai mengupas tebu. Lalu berteriak
ke arah mereka dengan suara yang kuperbesar seperti suara orang dewasa.
“Hai, siapa itu yang
mencuri tebu?” Mereka kaget dan lari
pontang-panting. Aku semakin bersemangat meneriaki mereka.
“Hai, jangan lari!”
Mereka semakin tunggang langgang menjauh. Aku menuju ke tempat mereka tadi
memotong dan mengupas tebu. Aku temukan beberapa potong tebu yang sudah
dikupas. Aku bawa pulang 4 potong tebu
dengan gembira. Sampai di rumah, Kakak dan teman-teman heran melihat kedua
tanganku menenteng 4 potong tebu sambil tersenyum-senyum.
“Dapat tebu dari mana
kamu?” tanya kakakku.
“Aku mendapati tebu-tebu ini tergeletak di
tengah kebun.”
Lalu Kakakku setengah marah
bertanya “Jadi kamu yang meneriaki kami tadi?”
“Habisnya aku mau ikut
saja tidak boleh!” jawabku membela diri.
Saat malam bulan
purnama orang-orang desa baik ibu-ibu, bapak-bapak maupun anak-anak keluar
rumah untuk menikmati indahnya terang bulan. Mereka bertemu di sebuah pelataran
luas. Anak-anak asyik bermain petak-umpet, jamuran,
ular naga, cublak-cublak suweng, gobak-sodor, dll. Ibu-ibu menonton
anak-anak yang sedang bermain sekaligus menjadi penggembira, sambil juga ikut
menjadi wasit apabila terjadi perdebatan akibat kecurangan maupun salah-paham
di antara kami. Bapak-bapak duduk-duduk sambil ngrokok dan ngomong-omong tentang sawah, acara desa maupun keadaan
sekeliling. Terang bulan di desa
merupakan surga yang selalu dirindukan setiap bulannya.
Hari lain yang
dinantikan adalah panen raya. Inilah saat
yang ditunggu-tunggu oleh warga. Pada musim panen raya, orang-orang desa
bergembira. Sawah-sawah menguning di mana-mana. Hati para petani berbunga-bunga. Para buruh tani dan
para penuai sibuk membantu petani memanen di sawah. Ibu-ibu penuai berpindah-pindah
dari sawah yang satu ke sawah yang lain secara berurutan. Orang-orang dari
Gunung Kidul pun berdatangan ikut ambil bagian sebagai penuai maupun memanen
jerami sebagai makanan ternak. Habis panen biasanya ada syukuran yang bernama
bersih desa. Ada kendurinan bersama di setiap pedukuhan. Ada tanggapan wayang
kulit sehari-semalam atau hanya semalam di Balai desa sebagai bentuk ucapan
syukur.
Kenangan manis itu kini
terbingkai dalam bentuk karya pelayanan bagi sesama yang tak akan pernah
memudar. Tetap setia dalam pelayananku.
Cerpen ini telah dimuat dalam buku Mozaik Pengalaman Hidup (Hal. 172-175) tahun 2017, diterbitkan oleh SDU Press, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar