POTRET KEHIDUPAN BALI MELALUI KARYA IMAJINATIF
(Ulasan terhadap Kumpulan Cerpen Bungan Jepun Karya Putu Fajar Arcana)
Oleh: Bekti Yustiarti
Sastra merupakan suatu karya yang seni yang berupa ekspresi pikiran dan disampaikan melalui sarana yaitu bahasa. Sastra erat hubungannya dengan masyarakat, karena sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat. Dengan imajinasi pengarang yang kreatif menggambarkan pengalaman sederet kehidupan dengan berbagai permasalahannya dan disajikan dalam karya sastra. Karya sastra dapat menjadi sebuah cerminan kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Karya sastra berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan adanya sastra masyarakat dapat mengetahui berbagai macam kehidupan pada setiap zaman. Sebagai contoh, sastra angkatan 1920-an dapat dibaca oleh masyarakat masa kini. Dengan membaca karya tersebut masyarakat memperoleh gambaran mengenani kehidupan masyarakat pada masa itu selain dari peristiwa sejarah.
Kumpulan cerpen “Bunga Jepun” karya Fajar Futu Arcana pada tahun 2003 merupakan salah satu kumpulan cerpen yang mengangkat sisi kehidupan di Bali pada masa itu. Didukung dengan unsur intrinsik yang sangat erat dengan seluk beluk kehidupan di Bali. Cerpen-cerpen yang ditulisnya sesungguhnya menggabarkan masyarakat bali yang beragam. Dalam cerpen ”Rumah Makam” unsur intrinsik yang ditonjolkan yaitu bagian latar, khususnya latar sosial. Di mana kehidupan sosial yang meliputi adat masih dijunjung tinggi. Dalam cerpen ini masyarakat berembug untuk menentukan sanksi yang sesuai untuk keluarga Susila. Selain itu, warga juga merencanakan upacara pembersihan desa karena tindakan Susila dianggap kotor.
Putu Fajar Arcana adalah orang Bali. Sebagai sastrawan dia mengolah deretan fakta yang didramatisasi menjadi sebuah cerita. Kehidupan pribadi, sosial serta budaya digambarkan melalui cerpen yang ditulisnya. Dalam cerpen “Sulasih”, masalah poligami juga terjadi di Bali. Keinginan untuk menjadi pewaris kerajaan mengaharuskan Gung Aji menikahi empat wanita. Tetapi sayang, tak satupun istrinya memiliki anak laki-laki. Kehidupan pribadipun dikupasnya dalam cerpen “Kita Tak Pernah Bicara”. Dari cerpen tersebut memberi pesan kepada para pembaca agar dalam kehidupan rumah tangga diperlukan suatu komunikasi. Keterbukaan antara suami dan istri sangatlah penting.
Latar begitu nampak digambarkan secara jelas oleh Putu Fajar Arcana dalam cerpen “Bunga Jepun” dan “Para Penari”. Sebagai contoh, ”Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dank bun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari” .Dari kutipan tersebut pembaca menggambarkan secara jelas mengenai latar tempat, waktu, dan sosial.
Gaya bahasa yang indah ia tonjolkan dalam cerpen “Kabut Malam-malam”. Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa perbandingan, khususnya personifikasi. Personifikasi adalah majas yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Berikut ini majas personifikasi yang digunakan dalam cerpen “Kabut Malam-malam”:
a. Pintu-pintu rumah papan yang bisu baru saja terhenti ternganga.
b. Selimut-selimut lagi teronggok di sudut kamar.
c. Bagai bola api Ila berayun-ayun di dahan cemara.
d. Matahati tengah berkemas-kemas menjelang petang.
e. Cemara duri seperti berlari dalam guyuran kabut.
f. Siul cemara telah mempercepat datang malam.
g. Ila tiba-tiba merasa akrab dengan derai cemara dengan desah napas bukit, dengan rintikan gerimis, dengan lembah berkaabut, dengan tepi hutan di sekitar Kintamani ini.
h. Ia petik bintang-bintang lalu didekapnya dalam-dalam.
i. Gerai rambutnya yang sepinggang menidurkan cuaca malam.
j. Ya, ya, menikmati awan malam-malam, memetik kabut tipis lalu digulung menjadi pintalan-pintalan kapas, dan serpihan bintang memberinya cahaya.
Putu Fajar Arcana menceritakan kisah nyata saat bom Bali terjadi dalam cerpen “Tahun Baru Pertama di Kuta”. Ia terinspirasi dengan fakta yang disaksikannya. Deretan sejumlah fakta didranatisasikannya menjadi sebuah cerita. Bahkan didukung dengan jumlah data yang orang yang menjadi korban. Dengan bahasa yang lugas, pembaca seolah-olah ikut merasakan kejadian pada masa itu.
Sisi lain yang ditonjolkan oleh Putu Fajar Arcana adalah sudut pandang. Pencerita yang berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda pula, dan sudut pandang yang berbeda itu menghasilkan versi cerita yang berbeda (Sudjiman, 1988: 71). Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam “Napas Usang” adalah sudut pandang orang pertama. Bagaimana si pengarang berberan sebagai “aku” orang pertama yang bercerita dan menceritakan dirinya sendiri. Pengarang merupakan tokoh cerita yang berkisah tentang dirinya sendiri dan tokoh-tokoh lain. Pengarang berada di dalam cerita itu, ia mengacu kepada dirinya sendiri dengan kata “aku”.
Sebagai orang Bali, Putu juga menggabarkan sisi kehidupan yang lain. Orang berpandangan bahwa kehidupan di Bali merupakan kehidupan yang serba mewah. Bagaimana tidak dengan ditunjangnya pariwisata yang berkembang pesat memberi dampak bagi masyarakat Bali, khususnya dampak ekonomi. Perekonomian masyarakat semakin sejahtera karena banyaknya wisatawan yang bekunjung ke Bali, terlebih pada musim libur. Namun, di balik itu semua terdapat sisi kehidupan yang lain. Tidak semua orang Bali kaya. Hal itu, digambarkannya melalui cerpen “Odah” perempuan tua yang miskin, serta memiliki banyak anak yang hanya menyandarkan hidupnya pada kemurahan pohon kopi. Bahkan, kalau musin kemarau keluarga mereka harus makan jagung. Sementara Odah sendiri sering sakit dan tidak mampu untuk berobat.
Bebeda dengan cerpen “Odah” dalam cerpen “Tanah Merah” penulis menggambarkan bagaimana suatu latar itu dibangun dalam suatu hari. Dalam cerpen ini latar yang digunakan tetap menggunakan tiga latar yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat hanya digambarkan di satu tempat, yaitu di pemakaman dan dalam hari itu juga. Selain terlihat pada latar. Dalam cerpen ini juga terdapat beberapa pengulangan kalimat. Sebagai contoh, berikut ini pengulangan kalimat yang terjadi dalam cerpen “Tanah Merah”:
a. Wajahnya yang seperti menunduk hanya menyaksikan lambaian daun pisang didera gerimis (Paragraf 4).
b. Pohon pisang yang ditimpanya kian melambai, seperti memanggil (Paragraf 7).
c. …”Hei daun pisang yang melambai….(Paragraf 7).
d. Dalam terang cahaya, sekilas ia melihat daun pisang yang bergoyang-goyang seperti semula (Paragraf 12).
e. Ia tahu sedang dibawa ke sebuah sudut di mana tadi daun pisang melambai dan dahan berderak (Paragraf 17).
f. “…Tetapi kau tak acuhkan, bahkan meremehkannya seperti daun pisang dan dahan, “ kata orang asing (Paragraf 19).
g. Hanya selembar daun pisang yang melambai kau katakana tangan-tangan (Paragraf 20).
Dalam cerpen ini terdapat pengulangan frasa daun pisang dalam kalimat yang berbeda. Daun pisang diibaratkan sebagai sesuatu yang hidup dan dan bergerak seperti manusia. Daun pisang melambai. Kata melambai berarti menyatakan perpisahan jika itu diibaratkan sebuah tangan. Selain frasa daun pisang terdapat beberapa pengulangan yang lain, misalnya:
a. “Hei, orang yang berjongkok, sudahi upacara perpisahan ini….” (Paragraf 4).
b. Sudahi upacara yang memuakan itu (Paragraf 6).
c. “Orang yang bersimpuh, sudahilah upacara perpisahan ini…” (Paragraf 11).
Kalimat perintah untuk meminta menyudahi acara perpisahan diucapkan berulang-ulang dalam paragraf yang berbeda. Kalimat lain yang serupa dan diucapkan berulang-ulang juga terdapat pada contoh berikut:
a. Mulutnya kini telah jadi milik lubang-lubang menganga yang berserakan di sekitanya (Paragraf 2).
b. Lubang-lubang menganga itu telah mematahkan tanganmu dank au pun terpelanting (Paraggraf 7).
c. Ingatlah, bukanlah di tempat ini, di hadapan lubang-lubang menganga beberapa waktu lalu, kau memenggal leher seluruh keluargamu? (Paragraf 22).
d. Ia terperosok segera ditarik oleh lubang-lubang yang menganga (Paragraf 23).
Ulasan karya sastra ini telah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dalam lomba LMKS tingkat SMA 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar